Jakarta, CNN Indonesia -- Pelaksana Tugas (Plt) Sekretaris Jenderal DPR Damayanti mengaku hanya menandatangani surat penolakan pemeriksaan Ketua DPR Setya Novanto oleh KPK yang dibuat oleh tim Biro Pimpinan DPR.
"(Pembuat surat) ya timnya biro pimpinan, ya. Saya enggak tahu waktu itu siapa yang buat, tapi argumennya apa saya bilang," ujar Damayanti, di Gedung Setjen DPR, Jakarta, Senin (6/11).
Ia mengaku, tidak turut serta dirinya dalam pembahasan surat tersebut karena dirinya tengah berada di luar kota pada saat pembuatan itu. Penandatanganan surat itu juga baru dilakukan pada Senin (6/11), jelang pemeriksaan Setnov sebagai saksi di KPK.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Ditambahkannya, keberadaan surat yang harus ditandatanganinya itupun diketahuinya dari Kepala Biro Pimpinan DPR Hani Tahapsari. Dalam keterangannya, Hani berkata, Setnov tidak bisa hadir karena putusan MK Nomor 76/PPU-XII/2014.
Dalam putusan MK itu disebutkan, anggota DPR bisa diperiksa oleh aparat penegak hukum jika sudah mendapat izin tertulis dari Presiden.
"Saya dapat telepon dari Kabiro Pimpinan (DPR) bahwa ada surat (panggilan dari) KPK, dan Pak Ketua (Setya Novanto) tidak bisa hadir. Karena apa? Saya bilang. Karena ada putusan MK yang menyatakan (tentang izin Presiden) demikian. Selesai," urainya.
Di samping itu, Damayanti mengaku tidak terlalu memahami mekanisme pembuatan surat tersebut karena baru menjabat sebagai Setjen DPR. Namun, katanya, surat penundaan pemeriksaan anggota DPR oleh aparat pernah beberapa kali dibuat oleh Setjen.
Terlepas dari itu, ia menyebut bahwa surat penundaan pemeriksaan yang dikirim ke KPK itu bukan upaya pihaknya melindungi Setnov. "Tidak ada (melindungi Setnov)," ujarnya.
Setya Novanto tidak memenuhi panggilan Komisi KPK hari ini. Berdasarkan surat dari Sekretariat Jenderal dan Badan Keahlian DPR tertanggal 6 November 2017 kepada KPK, disebutkan bahwa Setnov tak bisa memenuhi panggilan penyidik KPK.
Menurut Setjen DPR, pemanggilan anggota DPR harus mendapat izin tertulis Presiden Jokowi tertuang dalam Undang-Undang No. 17 Tahun 2014 tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD (UU MD3).
(arh/arh)