Jakarta, CNN Indonesia -- Wakil Ketua DPR Agus Hermanto mengungkapkan, pimpinan DPR tidak memiliki kewenangan untuk mengganti Setya Novanto dari posisi Ketua DPR. Jika bukan karena dicopot partai, Novanto lengser jika sudah mendapat putusan berkekuatan hukum tetap atau
inkracht van gewijsde.
Mekanisme itu, kata dia, diatur dalam UU No. 17 Tahun 2014 tentang MPR, DPR, DPD, DPRD (MD3). Yang terkait kasus hukum ada pada Pasal 87 ayat (2) huruf c UU MD3. Bahwa, pimpinan DPR diberhentikan apabila dinyatakan bersalah berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap karena melakukan tindak pidana yang diancam dengan pidana penjara lima tahun atau lebih.
Sementara, Setya Novanto saat ini masih berstatus tersangka untuk Pasal 2 ayat 1 subsider Pasal 3 Undang-Undang Nomor 31 tahun 1999 sebagaimana diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 tahun 2001 tentang Pemberantasan Korupsi (UU Tipikor) juncto Pasal 55 ayat 1 ke-1 KUHP.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Saat ketentuan itu belum terpenuhi, kewenangan pencopotan Novanto dari kursi Ketua DPR jadi wewenang penuh fraksi partainya, Partai Golkar. Sementara, Novanto saat ini masih berposisi sebagai Ketua Umum Partai Golkar.
"Selama memang kriteria-kriteria (dalam UU) tadi itu (belum terpenuhi), semuanya tetap diserahkan kepada fraksi yang bersangkutan," ujar Agus, di Gedung DPR, Jakarta, Senin (13/11).
Perihal kemungkinan-kemungkinan berhentinya Ketua DPR dari jabatannya tercantum dalam Pasal 84 ayat (1). Bahwa, pimpinan DPR berhenti dari jabatannya karena meninggal dunia, mengundurkan diri, atau diberhentikan.
Ketentuan soal diberhentikan itu tercantum pada Pasal 84 ayat (2) UU MD3. Yakni, pimpinan DPR diberhentikan bila:
a. tidak dapat melaksanakan tugas secara berkelanjutan atau berhalangan tetap sebagai anggota DPR selama 3 (tiga) bulan berturut-turut tanpa keterangan apa pun.
b. melanggar sumpah/janji jabatan dan kode etik DPR berdasarkan keputusan rapat paripurna setelah dilakukan pemeriksaan oleh Mahkamah Kehormatan DPR.
c. dinyatakan bersalah berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap karena melakukan tindak pidana yang diancam dengan pidana penjara 5 (lima) tahun atau lebih.
d. diusulkan oleh partai politiknya sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
e. ditarik keanggotaannya sebagai anggota DPR oleh partai politiknya.
f. melanggar ketentuan larangan sebagaimana diatur dalam Undang-Undang ini.
g. diberhentikan sebagai anggota partai politik berdasarkan ketentuan peraturan perundangundangan.
Terlepas dari itu, Agus melanjutkan, penetapan Ketua DPR Setya Novanto sebagai tersangka kasus dugaan korupsi proyek e-KTP tidak mengganggu pengambilan keputusan di tingkat pimpinan DPR.
"Kalau ada salah satu yang sedang berhalangan tentunya tidak akan menjadi kekurangan. Karena keputusan dalam pimpinan DPR adalah kolektif kolegial," aku dia.
Agus menjelaskan, pengambilan keputusan di tingkat pimpinan DPR bisa diambil jika jumlah pimpinan DPR memenuhi kuorum. Yakni, tiga dari lima pimpinan DPR. Oleh karena itu, jika ada satu atau dua pimpinan DPR yang berhalangan hadir keputusan masih bisa diambil.
Ia memaklumi jika suatu saat Setnov berhalangan ikut dalam proses pengambilan keputusan di tingkat pimpinan karena tengah berurusan dengan kasusnya. Terlebih, KPK memiliki kewenangan untuk memeriksa Setnov.
"Pimpinan (DPR) tentunya menyerahkan sepenuhnya ke KPK dan proses hukum yang ada," ujarnya.
Setya Novanto telah ditetapkan kembali sebagai tersangka dugaan korupsi e-KTP pada Jumat (10/11) lalu. Itu adalah kali kedua Setnov ditetapkan sebagai tersangka setelah yang sebelumnya status tersangkanya gugur lewat proses praperadilan di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan.
(arh/arh)