Jakarta, CNN Indonesia -- Direktur Amnesty International Indonesia Usman Hamid menilai, pemerintah perlu mengkaji ulang pelibatan TNI dalam penanganan konflik Kelompok Kriminal Bersenjata (KKB) di Papua.
"Harus dikaji ulang khususnya di Komisi I DPR yang membidangi pertahanan, seberapa besar tantangan di Papua sehingga membutuhkan kekuatan militer," ujar Usman saat ditemui di Jakarta, Selasa (21/11).
Usman berpendapat, pemerintah harus mampu menjabarkan kekuatan polisi dalam meredam konflik, alasan pelibatan TNI, hingga mengukur kerangka waktu keterlibatan TNI dalam menangani konflik. Menurutnya, pelibatan TNI tak bisa permanen dan harus dengan persetujuan Komisi I DPR.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Berapa lama, targetnya bagaimana, senjatanya apa saja, anggarannya berapa, bagaimana pertanggungjawabannya kalau terjadi penyalahgunaan. Itu yang selama ini tidak jelas," katanya.
Pemerintah, lanjut Usman, mestinya mampu menjelaskan kekurangan dari kekuatan polisi hingga pentingnya melibatkan TNI. Sebagai aparat penegak hukum, kata dia, polisi dinilai telah memiliki kewenangan yang cukup dalam menjaga keamanan masyarakat, mengontrol kejahatan, penertiban publik, termasuk menangani konflik di Papua.
"Diukur dulu seberapa tidak mampu kepolisian menghadapi ancaman KKB di Papua, kalau memang dianggap tidak mampu apa alasannya. Itu harus dijelaskan, bukan berarti militer langsung dilibatkan," ucapnya.
Usman berpendapat, pemerintah dapat mencontoh cara yang pernah digunakan saat berkonflik dengan kelompok di Aceh melalui dialog. Selain melalui dialog langsung, pemerintah dapat membuka dialog melalui United Liberation Movement for West Papua (ULMWP) atau gerakan pembebasan Papua Barat yang mewakili segala lapisan masyarakat di Papua.
"Apa memang kelompok Papua merdeka ini benar-benar tidak mau berdialog? Setahu saya ada usaha untuk dialog lumayan gencar dari masyarakat di Papua," tuturnya.
Cara ini, lanjut Usman, diyakini lebih efektif untuk mencegah berlanjutnya tindakan kekerasan, dugaan pelanggaran HAM, hingga penyalahgunaan kekuasaan oleh pihak militer di Papua. Dari hasil sejumlah penelitian, kata dia, masih menunjukkan terjadinya pelanggaran HAM di Papua akibat penyalahgunaan kekuasaan militer.
"Kasus-kasus yang memperlihatkan kejahatan militer itu tidak pernah dituntaskan, sehingga muncul ketidakpuasan dalam bentuk demo, menutup jalan, sampai mungkin pemberontakan bersenjata," katanya.
Isu untuk menarik tentara dari Papua disuarakan filsuf sekaligus Profesor Institut Teknologi Massachusetts (MIT) Noam Chomsky dan sekelompok akademisi internasional lainnya.
Mereka meminta pemerintah Indonesia menarik tentara dari Papua menyusul dugaan pelanggaran HAM yang dilakukan pasukan keamanan terhadap warga sipil di provinsi tersebut.
Kelompok yang menamai diri sebagai International Academics for West Papua itu menyebut tentara Indonesia telah secara rutin menembaki massa demonstrasi damai, membakar desa-desa dan menyiksa pegiat sipil dan warga setempat sejak 1969.
International Academics for West Papua menuntut agar pelatihan militer dan polisi serta ekspor persenjataan untuk Indonesia dihentikan sampai pelanggaran HAM di Papua Barat diselesaikan.
(ugo/gil)