Jakarta, CNN Indonesia -- Awal Desember setahun yang lalu, tepatnya 2 Desember 2016, ribuan orang turun ke jalan pusat kota Jakarta menggelar aksi demonstrasi yang mereka namakan Aksi Bela Islam 212.
Saat itu mereka menuntut agar eks Gubernur DKI Jakarta, Basuki Tjahaja Purnama atau Ahok segera diadili karena dianggap telah menistakan agama Islam lewat pidatonya di Pulau Pramuka, Kepulauan Seribu, Jakarta, yang mengutip Alquran surat Al Maidah ayat 41.
Aksi yang digelar bertepatan dengan ajang Pilkada DKI Jakarta itu juga mengusung sikap menolak pemimpin kafir.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Dua tuntutan yang digaungkan dalam Aksi 212 itu terpenuhi. Pasangan Ahok-Djarot kalah di Pilkada DKI, sementara dalam kasus penodaan agama Majelis Hakim Pengadilan Jakarta Utara menetapkan vonis dua tahun penjara kepada Ahok.
Hal itu nyatanya tak menyudahi eksistensi para tokoh Aksi 212.
Lewat wadah Presidium Alumni 212 yang mereka bentuk, para tokoh Aksi 212 ini tetap menggelar aksi yang terkait dengan isu agama.
Mereka bahkan berencana menghelat reuni Alumni 212 tepat di hari Aksi Bela Islam 212 setahun lalu, yakni pada Sabtu, 2 Desember 2017 di lapangan Monumen Nasional.
 Suasana saat Aksi Bela Islam 212, 2 Desember 2016 lalu. (AFP PHOTO / GOH CHAI HIN) |
Direktur Eksekutif Parameter Politik Indonesia, Adi Prayitno menilai lewat acara Reuni Alumni 212, para tokoh 212 tengah berupaya memelihara eksistensinya.
“Itulah kenapa mereka belum mau membubarkan diri meski Ahok sudah di penjara,” tutur Adi kepada
CNNIndonesia.com Minggu (26/11) malam.
Asumsi Adi, upaya menjaga eksistensi juga terlihat dari aksi-aksi lain yang digelar Alumni 212 seperti aksi tolak Perppu Ormas, dukungan terhadap Hizbut Tahrir Indonesia (HTI), hingga demonstrasi menuntut kader Partai NasDem Viktor Laiskodat segera ditangkap karena diduga menodai agama Islam.
Memantik Luka LamaSelain untuk mempertahankan eksistensi, para tokoh Aksi 212 lewat Reuni Alumni 212 juga ingin menunjukkan kepada masyarakat bahwa mereka akan selalu membela Islam.
Banyak atau sedikitnya peserta reuni yang hadir nanti tidak begitu penting. Sebab menurut Adi, hal utama yang ingin dicapai adalah masyarakat tahu keberadaan mereka.
“Mereka genit dengan unjuk diri melalui reuni,” kata Adi.
Di sisi lain, Adi mengatakan, Reuni Alumni 212 berpotensi membuka luka lama di masyarakat yang timbul selama Pilkada DKI Jakarta lalu.
Adi menganggap situasi masyarakat Jakarta saat ini sebenarnya sudah relatih kondusif setelah sebelumnya sempat terbelah selama Pilkada DKI Jakarta.
Sebaliknya, menurut Adi, keterbelahan itu berpotensi kembali muncul jika Reuni Alumni 212 tetap digelar. Mereka yang kecewa karena Ahok kalah dalam pilkada dan dipenjara, bakal teringat kembali apa yang mereka rasakan dulu jika reuni PA 212 dilakukan.
Perdebatan akan kembali. Media sosial pun berpotensi kembali gaduh. Akibat terburuk adalah proses melupakan perseteruan yang terjadi pada Pilkada DKI Jakarta lalu menjadi terhambat.
“Ini kan luka akibat pilkada Jakarta sudah mulai hilang, kan. Sudah mulai tumbuh kehidupan harmonis. Janganlah diungkit-ungkit lagi,” ucap Adi.
Adi menyimpulkan bahwa para tokoh Alumni 212 tengah berupaya mempertahankan eksistensinya sehingga diprediksi bakal terus menggelar aksi-aksi yang diidentikkan dengan membela agama Islam.
Meski begitu, Adi menilai para tokoh 212 tidak akan bertingkah seperti saat Pilkada DKI, di daerah-daerah yang menyelenggarakan pemilihan kepala daerah (pilkada).
Alasan pertama, kandidat calon kepala daerah tidak ada yang pernah menyinggung isu SARA, khususnya agama Islam.
 Foto: CNN Indonesia/Adhi Wicaksono |
Adi menjelaskan, para tokoh Alumni 212 mendapat begitu banyak simpati di Pilkada Jakarta lalu karena Ahok melontarkan pernyataan yang menyinggung ayat Alquran.
“Sekarang, mana ada kandidat yang melakukan hal demikian,” kata Adi.
“Sekeras apapun isu agama yang dimainkan kelompok 212, selama tidak ada pemantiknya tidak akan laku. Hanya menjadi barang rongsokan yang ditinggalkan setelah pilkada Jakarta,” lanjutnya.
Alasan lain adalah kelompok Islam di luar Jakarta yang tidak sepaham dengan PA 212 cenderung keras. Keras dalam arti ekspresif dalam bersikap.
Itu berbeda dengan anggota ormas Islam di Jakarta yang tidak terlalu ekspresif ketika berseberangan paham dengan kelompok lain.
Adi memberi contoh penolakan Banser Nahdlatul Ulama terhadap kedatangan salah satu tokoh Aksi 212, Bachtiar Nasir, di sejumlah daerah. Contoh lain adalah penolakan dari masyarakat Suku Dayak di Kalimantan, beberapa waktu lalu, terhadap kedatangan sejumlah tokoh Front Pembela Islam (FPI).
“Jadi, kalau mau Aksi Bela Islam di daerah-daerah, sama saja nyari perang. Mustahil itu,” ujar Adi.
(wis/djm)