Catatan Kelam dari Tanah Papua Setahun Terakhir

Dhio Faiz | CNN Indonesia
Jumat, 01 Des 2017 11:49 WIB
Ada banyak kejadian dan gesekan antara aparat dengan warga Papua selama setahun terakhir. Mulai dari demo menuntut Freeport, sampai penyanderaan warga oleh KKB.
Konflik aparat dengan warga di Papua. (ANTARA FOTO/Spedy Paereng).
Jakarta, CNN Indonesia -- Tepat setahun lalu, 1 Desember 2016, Jefry Wenda dan sekitar 200 mahasiswa Papua yang tergabung dalam Aliansi Mahasiswa Papua (AMP) menggelar aksi damai untuk menuntut penentuan nasib sendiri orang-orang Papua, di Jakarta. Aksi itu dihelat bertepatan dengan hari kemerdekaan Organisasi Papua Merdeka (OPM) yang sudah diperingati sejak 1961.

Mereka memulai aksi dengan berjalan kaki dari gedung LBH Jakarta di kawasan Pangeran Diponegoro menuju Istana Kepresidenan. Namun aksi damai mereka tak berjalan sesuai rencana.

Di kawasan Imam Bonjol, mereka diadang ratusan polisi berperalatan lengkap. Aparat polisi, yang dilengkapi tiga mobil water cannon, melarang AMP melakukan aksi di Istana Negara.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Namun demonstran masih mendesak maju. Aparat mulai terpancing dan melakukan tindakan represif kepada Jefry dan kawan-kawan yang menggunakan ikat kepala bergambar Bintang Kejora.

"Pengkhianat…pengkhianat," teriak petugas keamanan saat kericuhan itu.


Sebanyak 10 demonstran yang menuntut referendum Papua pada hari itu akhirnya langsung diangkut ke Polda Metro Jaya. Pencidukan 1 Desember lalu kian menambah deret panjang dugaan kekerasan aparat keamanan terhadap orang-orang Papua.

Konflik antara aparat negara Indonesia dengan warga Papua, tidak hanya terjadi pada Jefry dan kawan-kawannya yang turun ke jalanan Ibu Kota Desember tahun lalu. Ada catatan panjang soal hal tersebut, khususnya yang terjadi langsung di Bumi Cenderawasih.

Dari Freeport sampai KKB

Dalam penelusuran CNNIndonesia.com, ada begitu banyak kejadian yang terjadi di Papua sejak kejadian yang menimpa Jefry cs di Ibu kota. Beberapa di antaranya menyedot perhatian nasional dan bahkan internasional.

Salah satu kejadian yang menimbulkan perhatian publik terjadi pada awal April 2017. Waktu itu kelompok mahasiswa Papua yang tergabung dalam Front Persatuan Mahasiswa Tutup Freeport melakukan aksi di beberapa daerah di Papua.

Mereka menuntut penutupan perusahaan tambang Freeport Indonesia dan pembebasan Papua. Tuntutan itu memicu gesekan dengan aparat dari Polda Papua.

Di Sentani mereka diadang pihak kepolisian dan 20 orang ditangkap. Di tempat lain mereka juga diadang dan tidak dizinkan untuk melakukan aksi.

Catatan Kelam dari Tanah Papua Setahun Terakhir *EMBAksi demonstrasi menuntut Freeport ditutup berujung ricuh. (REUTERS/Muhammad Yamin).

Masih di bulan April, terjadi kericuhan di Pengadilan Negeri (PN) Kota Timika, Kabupaten Mimika, Papua. Anggota Serikat Pekerja Seluruh Indonesai (SPSI) PT Freeport Indonesia menghelat aksi menuntut pembebasan Sudiro, terdakwa kasus dugaan penggelapam iuran keanggotaan SPSI Freeport.

Saat Sudiro keluar PN, massa aksi pecah. Mereka meneriakkan tuntutan untuk membebaskan Sudiro.

Aparat Polisi dan TNI berusaha menenangkan massa dengan tembakan peringatan ke udara dan gas air mata, namun tindakan aparat itu tidak direspons massa.

Alhasil, empat anggota SPSI terkena tembakan peluru karet aparat dalam kericuhan itu. Mereka langsung dilarikan ke RSUD Mimika. Kapolres Mimika yang berada di tengah kerumumnan untuk menenangkan massa, juga terkena tembakan peluru karet.

Lalu pada 1 Agustus, ada gesekan antara warga Kabupaten Deiyai dengan aparat polisi.

Kericuhan berawal dari protes warga yang tak terima perusahaan pembangun jembatan Kali Oneibo, Distrik Tigi Selatan tak mau membantu menolong warga yang kritis. Warga yang kritis itu memang akhirnya mendapatkan tumpangan, namun nyawanya tak bisa diselamatkan.

Warga akhirnya mengamuk di lokasi kamp perusahaan pembangunan jembatan. Lalu, Manager PT Putra Dewa Paniai melapor ke aparat setempat, yakni aparat dari Polsek Tigi yang langsung mendatangi TKP.


Tim yang terdiri dari delapan anggota Polsek Tigi dan sembilan anggota Brimob diterjunkan untuk melakukan upaya persuasi. Namun massa semakin marah dan menyerang petugas. Mereka juga memecahkan kaca mobil Polsek Tigi.

Tim gabungan melepaskan tembakan peringatan untuk mengendalikan kericuhan. Aparat yang terdesak menembakkan peluru karet ke tanah. Tercatat, empat warga tertembak peluru karet dan dibawa ke RSUD Deiyai.

Pada 19 Agustus, karyawan PT Freeport Indonesia berunjuk rasa di Mimika, Papua. Massa aksi sempat bentrok dengan aparat. Sebab, aparat berusaha membubarkan aksi tersebut.

Beberapa orang dari serikat kerja Freeport dilaporkan terluka saat aparat membubarkan paksa massa aksi. Aparat melakukan tembakan peringatan dan juga gas air mata untuk menenangkan massa.

Terakhir, pertengahan November lalu. Sebanyak 1300 warga diisolasi di desa Kimbely dan Banti oleh Kelompok Kriminal Bersenjata (KKB). KKB menuntut pembebasan Papua dari cengkeraman Pemerintah Indonesia. Mereka juga menuntut penutupan PT Freeport Indonesia.

Pemerintah Indonesia merespons ini dengan membentuk Satgas Penanggulangan KKB yang merupakan gabungan dari prajurit TNI dan Polri. Operasi tersebut dilakukan untuk mengevakuasi warga dari sekapan KKB.

Catatan Kelam dari Tanah Papua Setahun Terakhir *EMBAparat gabungan TNI-Polri usai mengevakuasi warga yang disandera Kelompok Kriminal Bersenjata. (Dokumen Puspen TNI).

Operasi ini berada di bawah arahan langsung Kapolda Papua Irjen Boy Rafli Amar, Asisten Operasi Kapolri Irjen M Iriawan, dan Pangdam XVII/Cenderawasih Mayjen TNI George Elnadus Supit.

Pada 17 November, Satgas Penanggulangan KKB berhasil mengevakuasi 344 orang dan mengamankan dua desa di distrik Tembagapura, Kabupaten Mimika, Papua. Warga dievakuasi menggunakan 12 unit bus yang dikawal ketat anggota Satgas Penanganan KKB.

Penarikan Militer dari Papua

Terkait dengan semakin panjangnya catatan konflik antara aparat dan warga Papua, sejumlah akademisi internasional yang tergabung dalam International Academics for West Papua (IAWP) mengirim surat terbuka untuk Pemerintah Indonesia.

Noam Chomsky dan sejumlah akademisi internasional dalam IAWP menuntut Pemerintah Indonesia menarik militer dari Papua. Mereka menilai ada dugaan pelanggaran HAM yang dilakukan militer Indonesia di Papua.

Akademisi internasional juga menyoroti ada ketidakadilan sejarah yang dilakukan Pemerintah Indonesia kepada warga Papua selama ini.

"Kami meminta pemerintah Indonesia dan negara kami masing-masing untuk mengambil tindakan urgen dan efektif untuk memastikan militer Indonesia segera ditarik dari Papua Barat dan Indonesia mendemiliterisasi kawasan sebagai langkah awal menuju penyelesaian konflik secara damai," kata para akademisi dalam surat terbuka di situs resminya yang diakses CNNIndonesia.com pada Senin (20/11).'


Permintaan ini mendapat respons dingin dan negatif dari Indonesia. Sejumlah pihak menolak permintaan akademisi internasional yang disebut terlalu mencampuri urusan Indonesia.

Salah satunya datang dari Wakil Ketua Komisi I DPR, Tubagus Hasanuddin. Anggota fraksi PDI Perjuangan ini tidak setuju jika pemerintah Indonesia menarik seluruh personel TNI dari wilayah Papua.

"(Kalau ditarik) Terus diganti apa? Hansip?" ucap Hasanuddin kepada CNNIndonesia.com di Gedung DPR, Jakarta, Selasa (21/11).

Hasanuddin menilai anggapan akademisi internasional tersebut mengada-ada. Dia mengatakan situasi di Papua sejak dulu tidak seperti yang kelompok akademisi paparkan. Terlebih, pemerintah Indonesia berhak menaruh personel tentara di wilayahnya sendiri.

"Tentara, tentara Indonesia kok. Kecuali kalau bukan wilayah negara kesatuan Republik Indonesia," ujar Hasanuddin. (osc/wis)
LAINNYA DI DETIKNETWORK
LIVE REPORT
TERPOPULER