Jakarta, CNN Indonesia -- Pakar hukum pidana Universitas Airlangga, Nur Basuki Minarno yang menjadi saksi ahli dalam sidang praperadilan penetapan tersangka dugaan korupsi e-KTP atas Setya Novanto menyarankan penundaan sidang di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Tipikor.
Nur mengatakan, pihak Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dan Pengadilan Tipikor seharusnya menghormati sidang praperadilan Setnov yang sedang berlangsung di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan.
Rencananya, sidang pokok perkara kasus korupsi e-KTP Setnov akan dibuka pada Rabu (13/12).
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Pendapat saya, semestinya kalau ada pemohon praperadilan sedang berjalan dan diperiksa, kemudian termohon melimpahkan berkas untuk pemeriksaan pokok perkara, menurut pendapat saya itu harus di-
pending dulu," ujar Nur di PN Jakarta Selatan, Senin (11/12).
"Berbeda ceritanya kalau pemeriksaan pokok perkara di pengadilan itu sudah didaftarkan dan berlangsung, tapi kemudian salah satu pemohon baru daftar praperadilan, itu baru bisa gugur praperadilannya," tambahnya.
Nur menyinggung putusan Mahkamah Konstitusi atas gugatan Pasal 82 Ayat 1 huruf d Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 (KUHAP) tentang Wewenang Pengadilan untuk Mengadili.
Ia mengatakan putusan itu tidak memberikan justifikasi yang jelas bahwa sidang pokok perkara di Pengadilan Tipikor akan menggugurkan proses praperadilan.
"Saya tak menemukan justifikasi, mengapa pemeriksaan pokok itu menggugurkan praperadilan, kalau di praperadilan itu kan soal prosedur dan kewenangan, sedangkan sidang pokok perkara itu soal subtansi, itu dua hal berbeda, jadi tak menggugurkan," ujarnya.
Nur juga berpendapat proses praperadilan merupakan hak pemohon untuk menguji alat bukti dan membuktikan apakah ada penyalahgunaan wewenang aparat penegak hukum dalam proses penyidikan.
Harus ada Bukti BaruSaksi ahli lainnya, pakar hukum pidana dari Universitas Islam Indonesia (UII) Yogyakarta Mudzakir mengatakan, KPK seharusnya menggunakan bukti baru dalam menetapkan tersangka kembali kasus korupsi e-KTP.
Sebelumnya, KPK pernah menetapkan Setnov sebagai tersangka dugaan korupsi e-KTP, namun gugur akibat praperadilan di PN Jakarta Selatan.
"Harus ada bukti baru, kalau misalnya enggak ada bukti baru ya penetapan tersangka enggak sah juga," ujar Mudzaki kepada wartawan usai bersaksi di PN Jaksel, Senin (11/12).
Mudzaki berpendapat andai KPK tetap menggunakan alat bukti lama dalam menetapkan tersangka, maka alat bukti itu tak akan berlaku dengan sendirinya.
Ia menilai, upaya KPK akan sia-sia menetapkan Setnov untuk kedua kalinya jika hanya menggunakan alat bukti yang telah dinyatakan tidak sah oleh praperadilan.
Oleh karenanya, penyidik KPK perlu mencari bukti baru untuk kembali menetapkan seseorang sebagai tersangka kasus korupsi untuk kali kedua.
"Sama seperti orang membuka SP3 (Surat Perintah Penghentian Penyidikan). Kalau mau buka SP3 harus ada bukti baru. Kalau enggak ada bukti baru enggak bisa dibuka SP3," ujarnya.
(kid/pmg)