KPK Disebut Paksa Hakim Putuskan Praperadilan Hari Ini

Muhammad Andika Putra | CNN Indonesia
Rabu, 13 Des 2017 12:17 WIB
Kuasa Hukum Setnov, Ketut Mulya Arsana, mendapat kesan seakan KPK seperti memaksa Hakim Tunggal Praperadilan Kusno untuk memberi putusan hari ini.
Kuasa Hukum Setnov, Ketut Mulya Arsana, mendapat kesan seakan KPK seperti memaksa Hakim Tunggal Praperadilan Kusno untuk memberi putusan hari ini. (CNN Indonesia/M Andika Putra)
Jakarta, CNN Indonesia -- Kuasa Hukum tersangka dugaan korupsi e-KTP, Setya Novanto (Setnov), Ketut Mulya Arsana, mengatakan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) seperti memaksa Hakim Tunggal Kusno untuk memutus praperadilan hari ini.

Hal itu ia sampaikan setelah melihat layar, proyektor dan pengeras suara yang disiapkan KPK untuk membuktikan bahwa sidang perdana perkara korupsi e-KTP sudah berlangsung di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Jakarta.

“Kita lihat saja seperti apa mereka sudah siapkan proyektor. Artinya dengan posisi seperti itu hakim tunggal dipaksa untuk mengambil putusan hari ini, tinggal kita lihat keputusannya seperti apa,” kata Ketut di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, Rabu (13/12).

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Saat sidang kemarin, Kusno meminta Komisi KPK membuktikan bahwa sidang perkara korupsi e-KTP dengan terdakwa Setnov dimulai hari ini di Pengadilan Tipikor Jakarta.

“Saya minta bukti konkret bahwa perkara itu betul-betul disidangkan. Bagaimana caranya saya enggak tahu,” kata Kusno sebelum menutup sidang kemarin.

Kepastian sidang perdana pokok perkara menjadi sangat penting karena berpengaruh pada sidang praperadilan. Praperadilan akan gugur bila sidang perdana pokok perkara berlangsung.

Ketentuan itu mengacu pada pasal 82 ayat 1 huruf d Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP). Pasal itu berbunyi: dalam hal suatu perkara sudah mulai diperiksa pengadilan negeri sedangkan pemeriksaan mengenai permintaan kepada praperadilan belum selesai, maka permintaan tersebut gugur.

Pasal tersebut sempat diuji di Mahkamah Konstitusi (MK) pada 2015 lalu dan diputus dengan nomor 102/PUU-XIII/2015.

Putusan itu berbunyi: Menyatakan Pasal 82 ayat (1) huruf d Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang frasa suatu perkara sudah mulai diperiksa tidak dimaknai permintaan praperadilan gugur ketika pokok perkara telah dilimpahkan dan telah dimulai sidang pertama terhadap pokok perkara atas nama terdakwa/pemohon praperadilan.

Ketut menilai penjelasan itu bisa diterjemahkan bermacam-macam. Namun ia menilai seharusnya KPK menghargai orang lain.

“Tapi kan secara etik ya kita harus juga menghargai orang lain,” kata Ketut.

Selama belum diketok, kata Ketut, ia optimis akan menang praperadilan. Namu jika praperadilan digugurkan karena faktor waktu, menurutnya sih ke depan kita akan lebih sulit lagi menghargai hak orang lain dalam praperadilan.

(kid/djm)
LAINNYA DI DETIKNETWORK
LIVE REPORT
TERPOPULER