Jakarta, CNN Indonesia -- Sejumlah buruh migran asal Indonesia terbukti terlibat dalam jaringan teror kelompok militan Negara Islam Irak dan Suriah (ISIS). Beberapa di antaranya bahkan telah menyatakan bersedia menjadi calon ‘pengantin’-- istilah bagi pelaku bom bunuh diri--- dan terlibat aksi pendanaan serta perekrutan anggota.
Seorang buruh migran Indonesia yang pernah bekerja di Taiwan, Dian Yulia Novi, telah divonis bersalah oleh Pengadilan Negeri Jakarta Timur atas rencana serangan teror di depan Istana Negara pada 2016, 25 Agustus 2017 silam.
Dalam persidangan, Dian terbukti direkrut menjadi simpatisan ISIS di Indonesia oleh kelompok pimpinan Bahrum Naim.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
PN Jakarta Timur juga memvonis bersalah mantan buruh migran di Hong Kong, Ika Puspita Sari, karena terbukti mendanai rencana aksi teror di Bandung, Jawa Barat.
Kasus teranyar yang melibatkan buruh migran adalah rencana peledakan bom kimia di Bandung pada Agustus 2017 silam. Dalam kasus ini, tim Detasemen Khusus 88 Antiteror Polri menangkap seorang perempuan berinisial AK yang pernah bekerja di Hong Kong sebagai asisten rumah tangga.
AK pulang ke Indonesia karena visa kerja tidak diperpanjang di Hong Kong. Sebelum pulang ke Indonesia, ia sempat merekam video tengah mengibarkan bendera ISIS dan mengunggahnya ke media sosial.
Menyikapi fenomena ini, peneliti dari Pusat Kajian Terorisme dan Konflik Sosial Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, Solahudin, mengatakan, pola perekrutan buruh migran yang terlibat kelompok ISIS dilakukan melalui media sosial.
“Hal ini yang menyebabkan proses radikalisasi berlangsung cepat karena grup-grup
Facebook,
Telegram, milis (surat elektronik) dan
Whatsapp rutin menyebarkan artikel dan audio propaganda,” kata Solahudin dalam forum diskusi Investigatalk yang digelar Jaringan Indonesia untuk Jurnalisme Investigasi (JARING) di Jakarta, Selasa (19/12).
Laporan terbaru dari Institute for Policy Analysis of Conflict (IPAC) menyatakan, terdapat 45 orang buruh migran Indonesia di Hong Kong yang terlibat dengan kelompok ISIS.
Dari jumlah tersebut, ada buruh migran yang sudah dideportasi ke Indonesia dan menjalani proses hukum. Ada juga yang masih bertahan di Hong Kong.
Sementara itu, Ketua International Migrants Alliance, Eni Lestari, mengatakan, kondisi buruh migran, khususnya perempuan, rentan karena paksaan dan kondisi ekonomi.
Hal itu diperparah dengan tekanan dari pihak agen dan majikan.
Dalam kerentanan dan tekanan itu, para buruh migran memanfaatkan media sosial sebagai sarana melepaskan tekanan tersebut. Di sisi lain, radikalisasi lewat media sosial telah menjadi ancaman baru bagi para buruh migran.
Dalam kondisi seperti itu, kata Eni, pihak-pihak yang tidak bertanggung jawab mencoba memanfaatkan kerentanan buruh migran tersebut.
Eni melanjutkan, keterlibatan sejumlah kelompok buruh migran dalam ISIS ikut menambah stigma negatif dari masyarakat Hong Kong terhadap buruh migran Indonesia.
“(Ini terjadi) di tengah perjuangan mereka mewujudkan kebebasan beragama di kalangan buruh migran,” katanya.
Berangkat dari temuan itu, Jaringan Indonesia untuk Jurnalisme Investigasi (Jaring) berkolaborasi dengan
Kantor Berita Radio (KBR) dan
CNN Indonesia melakukan liputan investigasi mengenai keterlibatan buruh migran dengan jaringan ISIS, khususnya di Hong Kong.
Laporan akan diturunkan serentak hari ini di
CNN Indonesia,
KBR, dan
Jaring.id.
(wis/djm)