Jakarta, CNN Indonesia -- Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang menolak uji materi pasal-pasal kesusilaan dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) tak berarti merestui perbuatan asusila itu. Persoalannya, ranah pidana tak selalu bisa mendefinisikan zina sejalan dengan perspektif budaya. DPR dituntut lebih berperan merumuskannya.
Dalam putusannya, MK menyatakan bahwa makna zina tak bisa diperluas bagi laki-laki dan perempuan yang belum kawin; dan aturan pidana bagi sesama jenis atau Lesbian, Gay, Biseksual, Transgender (LGBT) bukan menjadi kewenangan MK.
Empat dari sembilan hakim menyatakan dissenting opinion atau pendapat berbeda atas putusan tersebut yakni Ketua MK Arief Hidayat, Wakil Ketua MK Anwar Usman, serta dua hakim anggota yakni Aswanto dan Wahidudin Adams.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Menurut keempat hakim itu, MK semestinya mengabulkan gugatan karena aturan soal kesusilaan itu bertentangan dengan UUD 1945 dan norma agama.
Putusan MK itu mendapat beragam reaksi di masyarakat. Sejumlah pihak menuding MK melegalkan 'kumpul kebo' dan hubungan sesama jenis karena menolak gugatan. Namun, MK menegaskan bahwa putusan tersebut tak berarti mendukung pelegalan zina maupun keberadaan hubungan sesama jenis di Indonesia.
MK berpandangan gugatan yang diajukan guru besar IPB Euis Sunarti dkk itu salah alamat. Adapun pasal yang digugat oleh pemohon yakni pasal 284 KUHP ayat 1 sampai 5 tentang perzinaan, pasal 285 KUHP tentang pemerkosaan, dan pasal 292 KUHP tentang hubungan sesama jenis yang dilakukan orang dewasa dengan yang belum dewasa.
Sebab perumusan delik atau tindak pidana baru bukan kewenangan MK melainkan pembuat UU yakni presiden dan DPR.
Di sisi lain, jika gugatan tentang zina dikabulkan, akan terjadi perubahan delik aduan menjadi delik biasa yang berdampak pada campur tangan negara. Padahal permasalahan tersebut sedianya menjadi urusan domestik antara suami istri.
Ahli hukum pidana Universitas Indonesia Ganjar Laksmana berpendapat, putusan MK yang menolak perluasan makna zina itu justru mempertegas yang sudah diatur sebagai tindak pidana zina di KUHP.
Menurut Ganjar, pada dasarnya hukum pidana telah memiliki kriteria sendiri mengenai perbuatan mana yang perlu dipidana maupun tidak.
Salah satu yang perlu dipidana adalah perbuatan yang menimbulkan kerugian bagi orang lain atau menimbulkan bahaya.
"Tindak pidana itu pasti dosa, tapi tidak setiap dosa perlu dipidana," katanya.
Hal serupa diungkapkan ahli hukum pidana Universitas Trisakti Abdul Fickar Hajar.
Fickar menilai putusan tersebut tak bisa ditafsirkan bahwa MK melegalkan zina maupun LGBT.
Menurut Fickar, ketentuan tentang zina dan sesama jenis yang diatur dalam KUHP justru jelas melindungi mereka yang lemah dan potensial menjadi korban yaitu perempuan dan anak bawah umur atau yang belum dewasa.
"Sedangkan bagi mereka yang sudah dewasa baik laki-laki maupun perempuan (yang berzina atau sesama jenis), KUHP tidak dapat melarang karena akan memasuki hak orang lain," tuturnya.
Namun jika dilihat dari perspektif agama, Fickar tak menampik bahwa hubungan tersebut memang dilarang. Fickar mengatakan, para penggugat mestinya menyampaikan aspirasinya langsung kepada DPR agar dapat dituangkan dalam rancangan KUHP yang baru.
Pasalnya, sebagai lembaga pengawal konstitusi MK hanya berwenang menafsir ketentuan pasal dan membatalkannya tanpa bisa menambah norma atau ketentuan. Sementara gugatan pemohon mengarah pada perubahan norma.
Meski demikian, Fickar meyakini putusan itu telah mendasarkan pada hasil kompromi dari nilai-nilai dan kepentingan yang dianut sembilan hakim MK.
"MK pun tidak lepas dari pertarungan nilai dan ideologi, terbukti ada
dissenting opinion dalam keputusannya,” ucap Fickar.
Merusak MoralSosiolog Universitas Indonesia (UI) Musni Umar mengaku kecewa dengan putusan tersebut.
Musni yang sempat menjadi saksi ahli dalam gugatan tersebut menilai, fenomena kumpul kebo dan hubungan sesama jenis di Indonesia belakangan ini semakin mengkhawatirkan.
Sementara belum ada hukum yang mengatur secara jelas tentang pemidanaan bagi mereka yang melakukan kumpul kebo maupun hubungan sesama jenis.
"Padahal tren yang terjadi di masyarakat sekarang banyak yang belum nikah tapi sudah kumpul kebo. Ini banyak terjadi di kota besar seperti Jogja, Bandung, Surabaya, dan Jakarta," ujar Musni kepada
CNNIndonesia.com.Rektor Universitas Ibnu Chaldun ini mengatakan, pemidanaan bagi orang yang kumpul kebo maupun sesama jenis mestinya tak perlu diatur dengan delik aduan. Pasalnya, perbuatan itu jelas berdosa dan merusak moral serta akhlak manusia.
"MK ini tidak mempertimbangkan dampaknya. Kalau remaja berzina kemudian beranak siapa yang tanggung jawab. Tidak beda jauh dengan sesama jenis, hanya saja mereka tidak akan menghasilkan keturunan. Ini sudah membahayakan dan mengerikan," tuturnya.
Hal senada diungkapkan sosiolog Universitas Nasional Sigit Rochadi yang mengakui fenomena hubungan sesama jenis saat ini semakin mengkhawatirkan.
Merunut sejarahnya, keberadaan hubungan sesama jenis semakin terbuka pasca ordebaru karena muncul ruang sosial yang lebih luas bagi kelompok-kelompok di masyarakat untuk mengungkap identitasnya.
"Kemajuan ekonomi, kebebasan menyatakan pendapat, berorganisasi, bermedia, itu digunakan mereka (sesama jenis) untuk menunjukkan identitasnya," ucap Sigit.
Sigit mengaku kerap menemukan fakta pasangan sesama jenis yang semakin terbuka melakukan kontak fisik di tempat umum.
"Mereka sudah berani berpelukan. Saya sering mengamati di stasiun, di taman, udah enggak risih lagi," imbuhnya.
Meski MK telah menegaskan bahwa putusannya tak berarti melegalkan hubungan sesama jenis, putusan itu dinilai akan semakin menguatkan identitas kelompok sesama jenis, terutama di perkotaan.
Menurut Sigit, hal ini akan berdampak pada pelanggaran moralitas yang serius.
"Mestinya memang bisa dibuat perumusan baru (oleh DPR) karena berkaitan dengan perlindungan moralitas masyarakat," tuturnya.
Kendati demikian, Sigit sepakat dengan putusan MK yang menolak memperluas makna zina. Menurutnya, jika gugatan itu dikabulkan akan mengancam orang-orang yang melakukan persetubuhan saat berpacaran maupun mereka yang melakukan praktik prostitusi.
Sigit mengatakan, zina sedianya adalah konsep agama yang tafsirnya akan sulit dibatasi.
Dalam peraturan perundang-undangan, zina hanya diatur dalam UU Perkawinan dan dapat dipidana jika dilakukan suami atau istri yang bersetubuh dengan laki-laki atau perempuan yang bukan pasangannya.
"Akan sulit mendefinisikan zina karena tafsirnya menjadi terlalu luas. Nanti orang yang pacaran atau prostitusi juga bisa kena (pidana). Harus hati-hati memberi tafsir," katanya.
Ditinjau secara sosiologis, zina mestinya juga dimaknai dari sisi relativisme budaya. Di Indonesia, kata Sigit, masih terdapat kebudayaan yang melegalkan praktik kumpul kebo.
Hal ini banyak terjadi di sejumlah daerah yang masih kental adat dan kepercayaannya. Salah satunya di daerah Sulawesi Utara.
Sigit mengatakan, di daerah tersebut masih ada adat orang tua yang membuatkan bilik di luar rumah bagi anak gadisnya untuk bersetubuh dengan sejumlah laki-laki untuk menjadi calon suaminya.
Nantinya gadis itu akan memilih laki-laki mana yang cocok untuk dijadikan suami.
"Ya memang adatnya begitu. Apa terus harus dipidana? Memang semua agama melarang zina, tapi harus jelas konsepnya," ucap Sigit.
(ugo/arh)