Hadapi Gugatan HTI, Pemerintah Minta Masukan Banyak Pihak

Joko Panji Sasongko | CNN Indonesia
Rabu, 20 Des 2017 15:51 WIB
Sejumlah akademisi, tokoh, dan ormas melakukan pertemuan dengan Kemenko Polhukam. Pemerintah meminta masukan untuk menghadapi gugatan HTI di PTUN.
Massa Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) dan sejumlah ormas lainnya melakukan aksi damai menolak perppu no.2 terkait ormas di Jakarta, Selasa (18/7). (CNN Indonesia/Adhi Wicaksono).
Jakarta, CNN Indonesia -- Kementerian Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan menggelar rapat dengan sejumlah kalangan masyarakat sipil dalam rangka meminta masukan untuk menghadapi gugatan Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) atas SK Pencabutan Badan Hukum HTI oleh Kementerian Hukum dan HAM di Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Jakarta.

Pantauan CNNIndonesia.com, sejumlah akdemisi dan tokoh dari kalangan ormas terlihat hadir dalam agenda tersebut. Beberapa di antaranya Azyumardi Azra, Guntur Romli, dan sejumlah pengurus Nahdlatul Ulama (NU).

Azyumardi mengatakan, pemerintah harus serius dalam menghadapi gugatan HTI demi menjaga Pancasila dan UUD 1945 sebagai dasar negara. Ia khawatir, kelompok radikal seperti HTI yang hendak menerapkan sistem khilafah di Indonesia akan berkembang jika pemerintah kalah atas gugatan tersebut.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

"Gugatan ini harus dihadapi tidak hanya soal teknis, tapi juga soal bagaimana NKRI tetap terjaga," ujar Azyumardi di Kantor Kemko Polhukam, Jakarta, Rabu (20/12).

Azyumardi menuturkan, HTI memiliki hak untuk melakukan pembelaan atas terbitnya SK tersebut. Namun pemerintah selaku pihak yang bertanggung jawab dalam menjaga keamanan juga berhak mengambil sikap atas keberadaan HTI dan kelompok atau ormas radikal, terutama yang bertentangan dengan Pancasila.

Meski enggan membeberkan materi yang disiapkan pemerintah, Azyumardi menyebut, kalangan sipil meminta adanya peningkatan sosialisasi tentang paham radikal, khususnya sistem khilafah.

Apalagi, ia menambahkan, banyak masyarakat yang bergabung dengan HTI atau kelompok radikal dinilai minim pemahaman tentang hal tersebut. Masyarakat seolah tertarik bergabung karena memahami ideologi radikal sebagai sebuah hal yang berbeda.

"Banyak orang yang mendukung ide khilafah itu hanya ikut-ikutan. Tidak paham itu apa. Jadi ini yang perlu dijelaskan oleh pemerintah," ujarnya.

Terpisah, tim kuasa hukum pemerintah, Achmad Budi Prayoga memaparkan, pemerintah perlu menerima masukan dari banyak kalangan untuk membantah gugatan yang diajukan HTI.

Dalam agenda itu, ia menyebut, pemerintah semakin yakin HTI mengancam keamanan negara karena hendak menerapkan sistem khilafah di Indonesia. Ia berkata, HTI juga telah membangun opini di tengah masyarakat bahwa pemerintah anti-ormas dan ajaran agama Islam.

"NKRI itu sudah konsensus. Ini yang harus dipertegas dalam persidangan nanti selain soal aspek-aspek administrasinya," ujar Achmad.
Pemerintah Minta Masukan Banyak Pihak Hadapi Gugatan HTIMassa Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) dan sejumlah ormas lainnya melakukan aksi damai menolak perppu no.2 terkait ormas di Jakarta, Selasa (18/7). (CNN Indonesia/Adhi Wicaksono).
Yakin Menang

Terkait dengan SK bagi HTI, Achmad mengklaim, pemerintah sudah sesuai prosedur administrasi dan asas penyelenggaraan pemerintahan yang baik. Penerbitan SK itu merupakan bentuk tanggung jawab pemerintah dalam memberi kepastian hukum dan keamanan bagi setiap warga negara.

Oleh karena itu, ia optimistis pemerintah akan memenangkan gugatan tersebut. Keyakinan itu juga karena mendapat dukungan dari banyak Ormas yang menolak keberadaan HTI.

Tak hanya itu, putusan MK menolak gugatan HTI atas Perppu Ormas Nomor 2 tahun 2017 juga menambah keyakinan pemerintah dalam menghadapi gugatan HTI.

"Tentu (pemerintah optimis). Karena pemerintah menghadapi ini tidak sendirian," ujarnya.

Di sisi lain, Achmad tidak sepakat dengan sikap HTI yang memasukan kewenangan contrarius actus yang ada di UU Nomor 2 tahun 2017 tentang Ormas ke dalam gugatannya. Poin itu, kata dia, merupakan upaya HTI mempersempit ruang pelanggaran.

Contrarius actus merupakan kewenangan badan atau pejabat negara dalam membatalkan keputusan yang diterbitkannya tanpa melalui pengadilan.

"Pelanggaran yang dilakukan HTI sudah ada jauh sebelum Perppu Ormas terbit. Mereka intinya ingin mempersempit pelanggaran," ujar Achmad.

Lebih dari itu, pengacara Albert Aries menyatakan contrarius actus bukan hal baru dalam aturan hukum di Indonesia. Ia berkata, staatsblad atau lembaran negara pada zaman kolonial telah menyatakan ormas dapat dibubarkan sepihak oleh pemerintah jika menggangu ketertiban umum.

"Kalau melanggar ketertiban umum saja bisa dibubarkan oleh Kementerian Hukum (Kemenkumham), apalagi melanggar ideologi," ujar Albert.

Sebelumnya, HTI mendaftarkan gugatan hukum ke PTUN Jakarta atas keputusan pembubaran yang dilakukan Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia (Kemenkumham) pada Juli 2017.

HTI menganggap pembubaran yang dilakukan pemerintah tidak sesuai dengan azas keterbukaan tanpa pemberian alasan yang jelas.

Pembubaran juga dianggap tidak memenuhi azas kecermatan, karena hanya memakai Pasal 17 Undang-Undang Nomor 17 tahun 2013 tentang Organisasi Kemasyarakatan sebagai dasar. (osc/djm)
LAINNYA DI DETIKNETWORK
LIVE REPORT
TERPOPULER