Jakarta, CNN Indonesia -- Jaksa penuntut umum (JPU) menilai tim kuasa hukum terdakwa korupsi e-KTP Setya Novanto tak memahami maksud audit laporan keuangan negara oleh BPKP yang menjadi unsur pembuktian kerugian dalam proyek e-KTP.
Hal ini menanggapi nota keberatan atau eksepsi tim kuasa hukum yang menyebut ada perbedaan jumlah kerugian keuangan negara dan BPKP yang dianggap tak berwenang menyatakan kerugian tersebut.
“Mengenai penghitungan kerugian menunjukan ketidakpahaman penasihat hukum akan unsur merugikan keuangan negara dan kegagalan memahami laporan penghitungan tersebut,” ujar jaksa saat membacakan tanggapan atas eksepsi di Pengadilan Tipikor Jakarta, Kamis (28/12).
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Menurut jaksa, auditor BPKP hanya bertugas menghitung kekurangan uang, surat berharga, dan barang yang kemudian menjadi dasar untuk pembuktian unsur merugikan keuangan negara.
Sementara terkait kewenangan BPKP, lanjut jaksa, telah diatur dalam Perpres 192/2014 yang menyatakan kewenangan BPKP untuk melakukan audit investigatif terhadap kasus-kasus penyimpangan yang berindikasi merugikan keuangan negara atau daerah.
“Selain itu, hasil perhitungan kerugian negara oleh BPKP selama ini telah diterima oleh praktik peradilan tindak pidana korupsi,” katanya.
Sebelumnya, tim kuasa hukum Setnov menyatakan ada kerugian keuangan negara yang berbeda dalam perkara e-KTP. Dari hasil perhitungan BPKP, kerugian keuangan negara akibat korupsi e-KTP sebesar Rp2,3 triliun.
Sementara dari hasil temuan tim kuasa hukum kerugian keuangan negara mencapai Rp2,4 triliun. Menurut tim kuasa hukum, BPKP tidak menghitung kerugian dari sejumlah penerimaan uang yakni US$7,3 bagi Setnov, US$800 ribu bagi Charles Sutanto Ekapradja, dan Rp2 juta untuk Tri Sampurno.
Selain itu BPKP juga dianggap tidak berwenang menyatakan kerugian negara. Menurut kuasa hukum, badan yang berwenang menyatakan kerugian negara adalah Badan Pemeriksa Keuangan (BPK).
[Gambas:Video CNN] (pmg/gil)