Jakarta, CNN Indonesia -- Tepat 14 tahun lalu, 29 Desember 2002, pemimpin Komisi Pemberantasan Korupsi jilid pertama dilantik untuk bekerja menjadi pemicu pemberantasan korupsi di Pemerintahan. 14 tahun berlalu, KPK masih sendirian --minim bantuan konkret dari Pemerintah. Jika terus berlanjut, bukan tidak mungkin 105 tahun Indonesia merdeka pun pemberantasan korupsi tak banyak hasil.
Wakil Ketua KPK Saut Situmorang cukup pesimistis tentang kondisi negara yang tak kunjung terbebas dari praktik koruptif. Sebabnya, tak ada peta jalan atau
road map pemberantasan korupsi yang jelas di Pemerintah. Tanpa itu, cara mengurus negara masih "begini-begini saja" dan rasuah akan langgeng.
"Aku kira kalau begini cara kita menata negeri ini, sampai tahun 2050 kita masih sulit (terbebas dari korupsi). Karena kalau kita lihat sampai tahun 2050 saja, apa
planning negeri masih belum terbayang," tuturnya, kepada
CNNIndonesia.com, Kamis (28/12).
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Mantan staf ahli Badan Intelijen Negara (BIN) itu menyebut, KPK memiliki peta jalan sampai tahun 2023 untuk membangun integritas nasional dan memerangi
grand corruption. Namun, itu masih jauh panggang dari api karena tidak didukung secara perundangan dan kebijakan oleh lembaga negara lain.
"Masih terseok-seok, baik dari sisi regulasi dan kelembagaan di luar KPK," aku Saut.
Sesuai undang-undang, peran KPK adalah sebagai
trigger mechanism, yang berarti mendorong atau sebagai stimulus agar upaya pemberantasan korupsi oleh lembaga-lembaga yang telah ada sebelumnya menjadi lebih efektif dan efisien.
Saut melanjutkan, pihaknya meminta kelembagaan KPK diperkuat, terutama dalam hal Sumber Daya Manusia (SDM). Harapannya, lembaga antikorupsi diizinkan oleh pemerintah maupun DPR untuk merekrut pegawai hingga 20 ribu orang.
"Secara bertahap (perekrutannya), di mana dua tahun ke depan paling tidak 5.000 orang (pegawai KPK)," kata dia.
KPK sendiri telah melakukan rekrutmen pegawai secara bertahap melalui program Indonesia Memanggil yang telah berjalan 12 kali sejak dua tahun lalu.
Sampai hari ini, KPK telah memiliki 1.557 pegawai. Komposisi pegawai terbesar berada pada bagian Kesekjenan sebanyak 661 pegawai, Kedeputian Penindakan 352 pegawai, dan Kedeputian Pencegahan 263 pegawai.
Kedeputian Penindakan memiliki 56 penyelidik, 93 penyidik (45 penyidik tetap dan 48 penyidik Polri), dan 83 Penuntut Umum.
Terpisah, Wakil Ketua KPK Basaria Panjaitan mengatakan, salah satu fokus KPK ke depan adalah meningkatkan pencegahan. Salah satu bentuknya, pembenahan sistem di semua lini yang berhubungan dengan pengelolaan uang rakyat (APBN).
Alhasil, masyarakat perlu terlibat dalam pemberantasan korupsi. Basaria berharap gerakan masyarakat antikorupsi semakin meluas ke depannya.
"Peran serta masyarakat diharapkan semakin masif dan di semua lini," kata dia, yang merupakan pensiunan Polisi itu.
Dari paparan 'Capaian dan Kinerja KPK di Tahun 2017', pada bidang pencegahan, KPK mengambil peran sebagai trigger mechanism untuk mendorong perbaikan tata kelola pemerintahan di bidang sistem administrasi perencanaan.
 Wakil Ketua KPK Saut Situmorang, di Jakarta, Kamis (13/7). Ia menyebut, korupsi akan tetap merajalela jika tak ada dukungan Pemerintah melalui rencana pemberantasan korupsi yang jelas. ( Foto: CNNIndonesia/Safir Makki) |
Pada 2017 ini, KPK mendampingi 12 provinsi, yaitu Sumatera Barat, Kepulauan Riau, Jambi, Kalimantan Timur, Kalimantan Selatan, Kalimantan Tengah, Jawa Timur, Gorontalo, Sulawesi Tengah.
Selanjutnya, Sulawesi Selatan, Maluku Utara dan Nusa Tenggara Barat. Total, KPK telah mendampingi 22 provinsi termasuk di dalamnya 380 kabupaten/kota.
Indonesia Corruption Watch (ICW) mengamini soal belum adanya rencana jangka panjang pemberantasan korupsi di Pemerintahan.
Indikasinya, pertama, tidak ada target jelas dari pemerintah dalam program pemberantasan korupsi. Upaya pemberantasan saat ini, kata ICW, hanya untuk kepentingan sesaat.
"Pemerintah harus memiliki kendali dan target atas kerja penegakan hukum korupsi, tidak hanya menggunakan secara pragmatis institusi penegak hukum untuk kepentingan 'ad hoc' belaka seperti saber pungli," demikian ICW melalui siaran persnya.
Kedua, pemerintahan Jokowi-JK memaknai program pemberantasan korupsi baru sebatas faktor pendorong sektor ekonomi lewat kebijakan yang administratif. Bentuknya, deregulasi, pemangkasan proses bisnis, dan revisi atas tarif dan biaya investasi.
Ketiga, KPK masih menjadi alat untuk membangun konsensus politik dengan partai politik pendukung maupun partai yang berada di luar kekuasaan. Contohnya, menempatkan politikus di pimpinan Kejaksaan Agung. Hasilnya, kerja pemberantasan korupsi tidak cukup dirasakan masyarakat.
Keempat, kemauan politik untuk memberantas korupsi sangat lemah. Penguatan KPK tidak pernah ada dalam kebijakan konkret pemerintah dan parlemen. Efeknya, KPK terus mendapatkan perlawanan politik.
"Politik menjadi episentrum korupsi yang membuat KPK tak pernah berhenti menghadapi teror dan serangan politik."
Dari kasus-kasus yang ditangani KPK, Kementerian/Lembaga paling banyak terseret korupsi dengan 274 perkara, diikuti pemerintah kabupaten/kota 178 perkara, pemerintah provinsi 99 perkara, DPR 63 perkara, BUMN/BUMD 51 perkara, dan Komisi 20 perkara.
Untuk 'pasien' KPK, kalangan swasta mendominasi dengan jumlah 183 orang, pejabat eselon I/II/III/IV sebanyak 175 orang, kemudian anggota DPR dan DPRD sejumlah 144 orang, serta beberapa lainnya baik kepala daerah, penegak hukum, pengacara, dan korporasi.
Kasus-kasus tersebut ditangani KPK oleh empat jilid kepemimpinan KPK.
(arh/gil)