Jakarta, CNN Indonesia -- Tim kuasa hukum salah satu anggota Front Pembela Islam (FPI) yang merazia toko obat di Bekasi mengaku miris permintaan penangguhan penahanan belum dikabulkan polisi.
Salah satu kuasa hukum, Azis Yanuar mengatakan, pihaknya telah mengirim permintaan agar polisi
menangguhkan penahanan kliennya, anggota FPI yang berinisial BG, sejak Jumat (29/12) lalu. Ia mengatakan permintaan itu dilayangkan karena BG tidak melakukan pengrusakan terhadap barang apapun.
"Ini ironis ya karena memidana seseorang atas tindakan yang tidak dilakukannya karena sekitar 15 orang yang ada di lokasi tahu bahwa BG tidak melakukan pengrusakan atas apapun," ujarnya saat dihubungi
CNNIndonesia.com, Selasa (2/1).
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Lebih lanjut, Azis mengatakan, pengrusakan yang dilakukan rekan-rekan BG sesama anggota FPI adalah atas obat-obatan yang sudah mereka beli. Atas dasar itu, pihaknya menegaskan perusakan tersebut tak masuk kategori pidana karena telah menjadi milik pribadi.
"Ada anggota FPI yang memang merusak obat-obatan haram itu akan tetapi yang dirusak adalah obat yang telah dibeli sebesar Rp50 ribu oleh anggota FPI beberapa saat sebelumnya," kata Azis.
Secara terpisah, Kapolres Metro Bekasi Kota Kombes Indarto mengatakan, penetapan terhadap BG sudah dilakukan berdasarkan fakta yang mereka dapatkan. BG, katanya, dinilai telah memenuhi semua unsur dijerat pidana.
Sejauh ini, kata Indarto, pihaknya telah memeriksa sebanyak sembilan saksi. Mereka ada yang dari pihak kepolisian, anggota FPI yang ikut dalam aksi razia (
sweeping) dan masyarakat di sekitar lokasi.
Indarto membantah pernyataan Azis. Ia menyatakan, dari pemeriksaan diketahui anggota FPI tidak sedikit pun membeli barang-barang seperti dimaksud.
"Dari alat bukti yang ada tidak seperti itu, menurut saya bahwa BG ini sudah cukup bukti untuk ditetapkan tersangka. Alat bukti kami tidak begitu (membeli obat-obatan), itu nanti sampaikan saja ke pengadilan, kami sudah melakukan gelar perkara untuk meningkatkan status dari lidik ke sidik," tuturnya.
Kapolres Metro Bekasi, Komisaris Besar Indarto. (CNN Indonesia/Bimo Wiwoho) |
Berdasarkan hasil penyelidikan, kata Indarto, pemilik toko obat diminta untuk mengambil ember dengan diisikan air. Tujuannya adalah untuk menghancurkan obat-obatan yang dijual pemilik toko tersebut.
Namun, Indarto membantah jika obat-obatan itu telah dibeli terlebih dahulu oleh pihak ormas.
"Kalau fakta kami tidak beli, itu barang yang ada di toko. Pemilik toko disuruh ambil ember berisikan air terus barang-barang (yang dari toko obat itu) dimasukkan ke ember," ujarnya.
Pemilik toko obat, kata Indarto, juga diminta untuk berlutut dan menandatangani surat pernyataan yang mereka buat. Selain itu juga pihak ormas meminta uang sebesar Rp20 ribu untuk membeli materai.
Maka itu, kata Indarto, BG dikenakan Pasal 170 dan 335 ayat (1) Kitab Undang-Undang Hukum Pidana dengan ancaman hukuman tujuh tahun penjara.
Polisi juga telah menetapkan
pemilik toko obat yang dirazia FPI sebagai tersangka karena diduga menjual obat-obatan kedaluwarsa dan obat keras tanpa resep dokter. Penetapan status tersangka pada pemilik yang berinisial LW itu dilakukan setelah gelar perkara dan pemeriksaan terhadap sembilan orang saksi.
Dari toko milik LW, Polres Metro Bekasi menyita barang bukti obat kedaluwarsa dan obat keras yang diduga dijual tanpa resep dokter.
Obat-obatan yang disita antara lain Dextro 29 butir, Eximer 140 butir, Trihex 40 butir, Trihexyphenidyl holi 19 butir, Zypras Alpraslan 1 ampel, Alprazolan Generix 15 butir, serta Alprazolan Mersi 1 butir.
Polisi juga menyita 47 pak obat berbagai jenis yang telah kedaluwarsa, namun masih dijual LW.
Menurut Indarto , LW dan MA dikenakan Pasal 196 jo Pasal 98 ayat (2) dan (3) jo Pasal 197 jo Pasal 106 ayat (1) Undang-Undang Nomor 36 tahun 2009 tentang Kesehatan.
"Dengan ancaman hukuman pidana penjara paling lama 10 tahun dan denda paling banyak Rp 1 miliar," ucap Indarto dalam jumpa pers, Senin (1/1) malam.
Akibat perbuatan yang sama, LW dan MA juga dikenakan Pasal 62 ayat (1) jo Pasal 8 ayat (3) Undang-Undang Nomor 8 tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen dengan ancaman hukuman penjara paling lama lima tahun atau denda Rp2 miliar.
"LW kita titipkan di Lapas Pondok Bambu karena perempuan. Sementara MA kita tahan di sini," sambung Indarto kala itu.
(kid/djm)