MK Tolak Uji Materi Ambang Batas Pencalonan Presiden

Priska Sari Pratiwi | CNN Indonesia
Kamis, 11 Jan 2018 14:06 WIB
Partai politik harus memiliki 20 persen kursi di DPR atau 25 persen suara sah nasional untuk bisa mengusung calon presiden.
MK menolak uji materi UU Pemilu yang diajukan Partai Idaman bersama pihak lain. Putusan ini membuat syarat 20 persen kursi DPR untuk Pilpres 2019 tetap berlaku. (CNN Indonesia/Adhi Wicaksono).
Jakarta, CNN Indonesia -- Mahkamah Konstitusi (MK) menolak gugatan uji materi Pasal 222 Undang-Undang Nomor 7 tahun 2017 tentang Pemilihan Umum yang diajukan sejumlah pihak, salah satunya Partai Idaman. Uji materi dilakukan karena para pemohon menilai syarat ambang batas pencalonan presiden atau Presidential Treshold (PT) 20 persen diskriminatif dan berpotensi memunculkan calon presiden tunggal.

"Mengadili, menolak permohonan pemohon," ujar Ketua Majelis Hakim Konstitusi Arief Hidayat saat membacakan amar putusan di ruang sidang MK, Jakarta, Rabu (11/1).

Dengan putusan ini, maka partai-partai harus memiliki 20 persen kursi di DPR atau 25 persen suara sah nasional untuk bisa mengusung calon presiden. Jika tidak, mereka harus tetap berkoalisi guna memenuhi syarat 20 persen kursi tersebut.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT


Dengan tetap berlakunya ketentuan tersebut, maka Partai Idaman dan partai kecil lain makin tertutup peluangnya untuk bisa mengusung calonnya sendiri. Mereka mau tidak mau harus berkoalisi dengan partai besar lain untuk bisa berpartisipasi dalam pilpres.

Adapun dalam pertimbangan putusan, hakim MK tak sepakat dengan dalil pemohon yang menyatakan bahwa ketentuan itu diskriminatif. Hakim anggota Maria Farida Indrati mengatakan, diskriminasi baru terjadi apabila ada perlakuan berbeda terhadap hal yang sama. Sementara ketentuan tersebut tak menunjukkan perlakuan diskriminasi.

Hakim mengatakan, salah satu pemohon, yakni Partai Idaman adalah partai baru yang akan mengikuti Pemilu 2019. Sedangkan norma yang terkandung dalam Pasal 222 berlaku bagi partai lama yang pernah mengikuti pemilu dan memiliki dukungan suara tertentu.

"Andaikata terhadap partai yang pernah mengikuti pemilu pun diperlakukan berbeda, hal itu tidak serta merta menimbulkan sikap diskriminasi," katanya.


Hakim juga menolak dalil pemohon yang menyebutkan bahwa PT 20 persen adalah manipulasi partai pendukung pemerintah. Menurut hakim, pembentukan suatu undang-undang adalah kewenangan DPR dan presiden.

"Oleh karena itu mahkamah tidak berwenang menilai praktik dan dinamika politik yang terjadi selama proses pembentukan undang-undang," ucap hakim.

Di sisi lain, hakim juga menolak dalil pemohon yang menyatakan bahwa ketentuan PT 20 persen sudah tak relevan karena pernah digunakan dalam pemilu 2014. Menurut hakim, UU yang digunakan saat itu bukan UU 7/2017 melainkan UU 8/2012 yang belum memberlakukan ketentuan PT 20 persen.

"Lagipula bagaimana mungkin UU yang lahir belakangan dikatakan kedaluwarsa dengan UU yang berbeda," tuturnya.


Hakim juga menilai syarat PT 20 persen itu justru memperkuat lembaga kepresidenan sebagai lembaga yang mencerminkan kondisi sosio politik Indonesia yang beragam.

Ketentuan soal PT ini digugat sejumlah partai dan perseorangan ke MK. Dalam UU 7/2017 tentang Pemilu mengatur ambang batas 20 persen untuk perolehan kursi di DPR dan atau 25 persen perolehan suara nasional untuk mengajukan capres.

Nantinya partai atau gabungan partai dalam pengajuan capres atau cawapres harus memiliki minimal 20 persen jumlah kursi di DPR dan atau 25 persen suara sah nasional di pemilu sebelumnya. (osc/gil)
LAINNYA DI DETIKNETWORK
LIVE REPORT
TERPOPULER