Jakarta, CNN Indonesia -- Mahkamah Konstitusi (MK) menolak gugatan uji materi tentang zina dan hubungan sesama jenis atau Lesbian, Gay, Biseksual, Transgender (LGBT) yang diatur dalam KUHP.
Pemohon uji materi adalah Guru Besar Institut Pertanian Bogor (IPB) Euis Sunarti dan sejumlah orang lainnya.
Pemohon melakukan uji materi ayat 1 sampai 5 pasal 284 KUHP tentang perzinaan, pasal 285 KUHP tentang pemerkosaan, dan pasal 292 KUHP tentang homoseksual lantaran dianggap mengancam ketahanan keluarga.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Pemohon ingin memperluas arti tentang zina dan praktik zina di kalangan LGBT. Sementara hakim MK, meski diwarnai perbedaan pendapat, menolak uji materi pemohon.
Dalam putusannya, empat hakim yakni Arief Hidayat, Anwar Usman, Aswanto, dan Wahidudin Adams menyatakan pendapat yang berbeda atau
dissenting opinion dengan lima hakim yang menolak uji materi tersebut.
Keempat hakim tersebut mendukung kategori zina bagi hubungan sesama jenis (LGBT) yang dilakukan oleh sesama orang dewasa, dan mendukung perluasan arti zina tak hanya terbatas bagi orang yang sudah menikah.
Hakim Aswanto menyatakan pembentukan norma hukum, khususnya dalam gugatan tentang zina dan hubungan sesama jenis mestinya selalu mendasarkan pada nilai-nilai agama dan sinar Ketuhanan.
“Tatkala norma undang-undang bertentangan dengan nilai agama maka norma undang-undang itulah yang harus disesuaikan dengan nilai agama dan ajaran Ketuhanan,” ujar hakim anggota Aswanto di ruang sidang MK, Jakarta, Kamis (14/12).
Dalam pertimbangannya, hakim Aswanto juga menilai ketentuan pasal 284 KUHP tentang ancaman hukuman bagi pasangan yang sudah menikah kemudian melakukan zina dengan orang lain harus diperluas bagi pasangan yang belum menikah.
Itu sejalan dengan keinginan pemohon yang meminta zina dimaknai lebih luas, termasuk meliputi hubungan badan yang dilakukan pasangan tak nikah.
Alasan hakim Aswanto, hubungan zina di luar perkawinan sejak dulu memang bertentangan dengan nilai agama dan aturan hukum yang berlaku di Indonesia.
Menurut dia, persetubuhan hanya boleh dilakukan antara laki-laki dan perempuan yang terikat pernikahan.
“Dengan demikian ketentuan pasal 284 KUHP jelas mempersempit ruang lingkup konsep zina menurut nilai agama dan
living law masyarakat Indonesia,” katanya.
 Hakim MK Anwar Usman dan Arief Hidayat sama mendukung perluasan arti zina dalam KUHP. (CNN Indonesia/Adhi Wicaksono) |
Pertimbangan itu ditolak oleh lima hakim lain yang menolak uji materi pemohon. Salah satu penolakan datang dari hakim anggota Saldi Isra.
Dalam pertimbangannya, hakim menyatakan apabila gugatan itu dikabulkan akan terjadi perubahan perbuatan pidana yang semula delik aduan menjadi delik biasa.
Perubahan delik ini dikhawatirkan akan mengubah kualifikasi pasal 284 yang semula dikonstruksikan sebagai urusan domestik laki-laki beristri atau perempuan bersuami, menjadi urusan negara.
“Negara semestinya baru akan turun tangan jika pihak-pihak memintanya melalui delik aduan dan harus dihentikan jika aduan itu dicabut,” ucap hakim anggota Saldi Isra.
Perbedaan juga terjadi pada pasal 285 KUHP dan pasal 292 KUHP.
Kemudian pada pasal 292 KUHP tentang perbuatan cabul hubungan sesama jenis dianggap hanya memberikan perlindungan hukum terhadap korban yang diduga belum dewasa, sedangkan pada korban yang telah dewasa tidak diberikan perlindungan hukum. Pemohon menginginkan orang dewasa yang melakukan hubungan sesama jenis dengan orang dewasa mestinya juga dihukum.
Dalam pertimbangannya, hakim Wahidudin menilai pencantuman unsur sebatas anak di bawah umur atau belum dewasa dalam beleid tersebut menunjukkan ‘kemenangan’ kaum homoseksual. Menurut hakim, perilaku itu sangat tercela dan bertentangan dengan sinar Ketuhanan.
“Berdasarkan pertimbangan di atas, kami berpendapat mahkamah seharusnya mengabulkan permohonan para pemohon,” ucapnya.
Hal itu kembali ditolak karena keinginan pemohon itu mengharuskan MK membuat ketentuan perundang-undangan yang baru.
Kata Saldi, yang berwenang membuat ketentuan perundang-undangan yang baru adalah DPR dan presiden sebagai pembentuk UU, bukan MK. Menambah frasa atau norma baru dinilai akan mengubah sifat melawan hukum dan hal itu tidak dapat diterima dalam penalaran hukum.
“Gagasan pembaruan yang diusulkan pemohon harusnya diajukan ke pembuat UU dan menjadi masukan penting untuk merumuskan KUHP yang baru,” kata Saldi.
Selain Saldi, lima hakim yang menolak gugatan tersebut yakni I Dewa Gede Palguna, Maria Farida Indrati, Suhartoyo, dan Manahan Sitompul.
Pemohon Kecewa Salah satu pemohon Euis Sunarti mengaku kecewa dengan putusan hakim yang menolak permohonan. Apalagi pihaknya telah menunggu hampir 1,5 tahun sejak gugatan itu pertama kali disidangkan pada 2016.
“Kami tentu sedih. Tapi apa daya keputusan hari ini lima hakim lawan empat, persoalan teknis lebih menang,” ucap Euis ditemui usai persidangan.
Menurut guru besar IPB ini, permasalahan tersebut sejak lama telah mengusik pikirannya.
Ia mengklaim telah mengantongi data titik-titik penyimpangan seksual, perzinaan, hingga perselingkuhan yang banyak terjadi di daerah. Kendati demikian, Euis menyatakan tetap menghormati apapun putusan hakim.
Ia berencana memperjuangkan permasalahan ini melalui jalur lain, baik langsung melalui DPR maupun presiden.
“Kami tetap berjuang lewat jalur yang akan kami perjuangkan. Kami juga hormat pada semua hakim MK, khususnya pada empat hakim yang dissenting opinion, kata-katanya bikin saya nangis, itu lahir dari hatinya,” tuturnya.
(wis/gil)