Jakarta, CNN Indonesia -- Mahkamah Konstitusi (MK) mengklarifikasi munculnya polemik atas putusan uji materi pasal zina, pemerkosaan, dan hubungan sesama jenis yang diatur dalam KUHP.
Dari hasil Rapat Permusyawaratan Hakim (RPH), MK menegaskan putusan yang menyatakan menolak uji materi tersebut tak berarti mendukung pelegalan zina maupun keberadaan hubungan sesama jenis di Indonesia.
Dalam pernyataan tertulis, MK menyatakan, tidak ada satu kata pun dalam amar putusan dan pertimbangan yang menyebut apalagi melegalkan istilah Lesbian, Gay, Biseksual, dan Transgender (LGBT).
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Menurut MK, permohonan para pemohon untuk memperluas makna zina maupun membuat aturan pidana bagi hubungan sesama jenis adalah perumusan delik atau tindak pidana baru yang bukan kewenangan MK.
“Permohonan itu sudah menyangkut perumusan delik atau tindak pidana baru yang mengubah subjek yang dapat dipidana, perbuatan yang dapat dipidana, sifat melawan hukum perbuatan tersebut, maupun sanksi/ancaman pidananya,” seperti dikutip dari hasil RPH.
Uji materi serupa juga pernah ditolak MK dalam putusan nomor 132 tahun 2015 dengan alasan yang sama. Hal itu, menurut MK, telah masuk wilayah
criminal policy yang menjadi kewenangan pembentuk UU yakni presiden dan DPR.
Dalam putusannya MK pun menyarankan pada pemohon agar melakukan perbaikan kepada pembentuk UU untuk melengkapi pasal-pasal yang mengatur tentang kesusilaan tersebut.
“Karena kami
concern terhadap fenomena sosial yang dikemukakan pemohon, MK pun sudah menegaskan agar langkah perbaikan perlu dibawa ke pembentuk UU.”
MK sebelumnya menolak gugatan uji materi tentang kesusilaan yang diatur dalam KUHP karena dianggap telah sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Dalam putusannya, empat hakim yakni Arief Hidayat, Anwar Usman, Aswanto, dan Wahidudin Adams menyatakan dissenting opinion dengan lima hakim yang menolak uji materi tersebut.
(djm)