Jakarta, CNN Indonesia -- Beberapa hari belakangan partai politik disibukkan penatapan koalisi untuk mengusung calon kepala daerah. Batas pendaftaran calon ke Komisi Pemilihan Umum Daerah (KPUD) kemarin membuat partai memutuskan koalisi dengan cepat.
Jika diperhatikan, koalisi-koalisi tersebut tak melulu mereka yang selalu bekerja sama di pusat. Mereka yang kerap berseberangan pun pada akhirnya memberi warna tersendiri.
Contohnya di Pemilihan Gubernur Jawa Timur. Dalam ajang pesta demokrasi di sana, Gerindra dan PKS merapat ke PDIP dan PKB untuk mengusung Saifullah Yusuf atau Gus Ipul-Puti Guntur Soekarno.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Padahal, sudah jadi rahasia umum, Gerindra dan PKS kerap bersebrangan dengan PDIP dan PKB pada berbagai hal, baik di tataran daerah maupun tingkat nasional.
Begitu pula dengan Demokrat yang mengklaim sebagai partai penengah dan tidak memihak salah satu koalisi di tingkat nasional. Demokrat di beberapa daerah merapat ke PDIP. Seperti di Pilgub Kalimantan Barat dan Jawa Tengah. Di Kalbar Demokrat bersama PDIP mendukung Karolin Margret Natasa-Suryadman Gidot dan di Jateng sepakat mendukung Ganjar Pranowo-Taj Yansin Maimun.
Pakar politik Universitas Gadjah Mada, Mada Sukmajati menyatakan, setidaknya ada dua alasan mengapa koalisi di daerah mencair dari koalisi nasional.
Alasan pertama, partai politik saat ini tidak memiliki basis ideologi yang kuat ketika berkoalisi di tingkat nasional. Dengan mudah partai politik berkoalisi dengan partai lawan di tingkat daerah.
Meski begitu, ada partai yang enggan disebut berkoalisi dengan lawan partai di tingkat daerah. Seperti PKS yang enggan disebut berkoalisi dengan PDIP di Jatim. Partai yang dipimpin Sohibul Iman ini ingin disebut berkoalisi dengan Gus Ipul.
"Ideologi koalisi partai saat ini memang enggak kuat karena mereka hanya berorientasi kekuasaan. Koalisi di daerah yang mereka lakukan itu pragmatis," kata Mada Sukmajati saat dihubungi
CNNIndonesia.com, Kamis (11/1).
Alasan kedua, kaderisasi partai buruk sehingga tidak semua partai memiliki kader di semua daerah yang layak dicalonkan. Sering kali partai mengambil jalan pintas dengan mencalonkan tokoh atau numpang dengan partai yang memiliki kader di suatu daerah.
"Sekalinya ada kader partai di daerah yang layak dicalonkan, partai tingkat pusat tidak mengusung karena elektabilitas rendah. Kaderisasi ini berhubungan dengan ideologi tadi, partai mengusung karena hanya ingin kekuasaan," kata Mada.
Mada menilai partai yang berkoalisi di daerah dengan partai yang berseberangan di tingkat nasional memiliki tujuan tertentu.
Ia mencontohkan dengan tindak tanduk Gerindra yang awalnya ingin berkoalisi dengan PKS dan PAN untuk Pilkada Jatim. Rencana itu gagal karena Gerindra dan PKS mengusung Gus Ipul-Puti Soekarno, sedangkan PAN mengusung Khofifah Indarparwansa-Emil Dardak.
Menurutnya, Gerindra mengusung Gus Ipul-Puti Soekarno setelah mendapat saran dari kiai-kiai di Jatim. Masukan kiai menjadi lebih penting dari pada rencana awal membentuk koalisi baru. Ketimbang membentuk koalisi baru tapi tujuan untuk 2019 gagal tercapai, lebih baik merapat ke koalisi yang kerap berseberangan demi menjaga asa di 2019.
"Gerindra melakukan hal itu karena Prabowo ada kebutuhan menjaga dukungan suara kiai di 2019. Lebih baik koalisi bersama lawan partai agar dapat suara, dari pada bikin koalisi baru tapi enggak dapat suara," kata Mada.
Tujuan berikutnya, kata Mada, Gerindra akan menuntut hak bila Gus Ipul terpilih. Seperti meminta Gus Ipul untuk memfasilitasi konstituen Gerindra di Jatim.
Namun Mada menolak bila pilkada dikatakan sebagai representasi Pilpres 2019. Pasalnya tak semua daerah yang dimenangkan oleh suatu partai bisa memberi jaminan akan mendukung calon presiden yang diusung partai bersangkutan.
"Itu asumsi yang masih spekulatif, saya kira pilkada untuk pilkada saja. Memang sembari memelihara mesin partai di daerah, tapi tak ada jaminan suara untuk Pilpres," kata Mada.
(osc/sur)