Merunut Polemik Anies Vs Sofyan Djalil soal HGB Reklamasi

Mesha Mediani | CNN Indonesia
Senin, 22 Jan 2018 08:43 WIB
Sikap Gubernur Anies Baswedan dan Menteri ATR/BPN Sofyan Djalil berseberangan soal penerbitan HGB pulau reklamasi dan hingga kini belum menemui titik temu.
Ilustrasi proyek pulau reklamasi di teluk Jakarta. (CNN Indonesia/Hesti Rika)
Jakarta, CNN Indonesia -- Polemik upaya Pemprov DKI mencabut Hak Guna Bangunan (HGB) pulau reklamasi di Teluk Jakarta masih bergulir. Perbedaan sikap Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan dan Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN) --yang kini dipimpin Sofyan Djalil-- belum mencapai kata sepakat.

Pada 29 Desember 2017 lalu, Pemprov DKI Jakarta meminta BPN untuk membatalkan HGB di tiga pulau reklamasi (Pulau C,D, dan G).

Padahal, HGB diterbitkan lantaran sudah mendapat persetujuan dari pemilik sertifikat hak pengelolaan lahan (HPL), tak lain adalah Pemprov DKI sebelum masa kepemimpinan Anies.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Salah satunya adalah sertifikat HGB Pulau D yang terbit pada 24 Agustus 2017, saat kepemimpinan DKI masih di tangan Djarot Saiful Hidayat.

Penarikan dua rancangan peraturan daerah (perda) tentang reklamasi dari pembahasan DPRD menjadi alasan Anies mencabut HGB, yaitu Raperda RZWP3K (Rancangan Zonasi Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil) dan RTRKS Pantura (Rancangan Tata Ruang Kawasan Strategis Pantai Utara).

Kedua raperda itu semula diajukan ke DPRD sebagai pijakan bagi pelaksanaan reklamasi di Jakarta.

Anies juga beralasan, terdapat cacat administrasi dalam penerbitan HGB yang dilakukan pada era pemerintahan sebelumnya.
Merunut Polemik Anies Vs Sofyan Djalil soal HGB ReklamasiGubernur DKI Anies Baswedan menghendaki HGB pulau reklamasi dicabut. (CNN Indonesia/Christie Stefanie)

Menanggapi permintaan Anies, BPN menolak dengan alasan penerbitan HGB telah sesuai prosedur dan ketentuan administrasi pertanahan yang berlaku. Apabila HGB ditarik, maka akan menimbulkan ketidakpastian hukum bagi pengembang.

BPN menyarankan Pemprov DKI menempuh upaya hukum, yakni menggugat ke Peradilan Tata Usaha Negara (PTUN) apabila Pemprov DKI Jakarta keberatan atas penolakan BPN.

Pakar Hukum Tata Negara Yusril Ihza Mahendra sempat heran kepada Pemprov DKI yang mendadak meminta BPN membatalkan sertifikat HGB pulau reklamasi. Padahal, HGB itu tidak mungkin keluar tanpa rekomendasi dari pemilik HPL.

Sejumlah pengamat membenarkan bahwa BPN memang dapat membatalkan HGB, atau setidaknya mengkaji kembali HGB yang sudah terbit.

Pakar hukum tata negara Universitas Parahyangan Asep Warlan Yusuf mengatakan, HGB yang sudah terbit bisa diubah atau ditinjau kembali ketika ditemukan tiga aspek, yakni cacat wewenang, cacat prosedur, dan/atau cacat substansi.

Hal ini sesuai dengan amanat Pasal 64 Undang-undang Republik Indonesia Nomor 30 Tahun 2014 tentang Adminitrasi Pemerintahan.

"Oleh karena itu, BPN harus mengkaji ulang, apakah ada ketiga aspek tadi. Kalau tidak ada kesalahan, dia tetap sah dan tidak bisa dipersoalkan secara hukum," kata Asep ketika dihubungi CNNIndonesia.com, Minggu (21/1).


Asep menambahkan, terdapat dasar yuridis HGB bisa dicabut oleh sejumlah pihak, sebagaimana diatur pada pasal 64 UU Adminitrasi Pemerintahan.

Keputusan pencabutan itu dapat dilakukan oleh a) Pejabat Pemerintahan yang menetapkan Keputusan, b) oleh Atasan Pejabat yang menetapkan Keputusan, c) atas perintah Pengadilan.

Dalam hal ini, lanjut Asep, sertifikat bisa dibatalkan oleh BPN (penetap keputusan), Presiden (atasan BPN), atau PTUN.

"Kalau tidak ada kesalahan prosedur, demi kepastian hukum, maka HGB tidak bisa digugat atau dipersoalkan," ujarnya.
Merunut Polemik Anies Vs Sofyan Djalil soal HGB ReklamasiSofyan Djalil mempersilakan Pemprov DKI menggugat urusan HGB reklamasi ke PTUN. (REUTERS/Beawiharta)

Soal ganti rugi, kata Asep, jika pencabutan HGB disebabkan karena kesalahan dari pemberi hak alias BPN, maka tidak ada kewajiban Pemprov untuk mengganti rugi kepada pengembang. Lain halnya jika pencabutan HGB dicabut tanpa ada kesalahan administrasi atau prosedur.

"Kalau tidak ada kesalahan, tetapi tiba-tiba dicabut (HGB) tentu ada konsekuensi hukum ganti rugi," ujarnya.

BPN dengan demikian dituntut tegas bersikap bilamana memang tidak ditemukan kecacatan pada proses atau hasil penerbitan HGB, demi menjaga kepastian hukum bagi pengembang.

"BPN pertimbangkan lagi. Kalau tidak ada kesalahan, BPN harus konsisten," kata Asep.

Pakar hukum tata negara Andi Irman Putra Sidin mengatakan, pembatalan HGB juga telah diatur pada Peraturan Menteri ATR/BPN No. 9/1999 tentang Tata Cara Pemberian dan Pembatalan Hak Atas Tanah Negara dan Hak Pengelolaan.

Irman mengatakan, pemanfaatan pulau reklamasi harus tunduk pada UU No.27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir Dan Pulau-Pulau Kecil sebagaimana telah diubah dengan UU No.1 Tahun 2014.

Arahan pemanfaatan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil tersebut dituangkan dalam Perda RZWP3K yang sudah ditarik itu. Sehingga, peruntukkan HGB harus merujuk kepada RZWP3K.

"Persoalannya saat ini, RZWP3K belum disahkan dan masih dikaji oleh Pemprov, lalu bagaimana cara menentukan rencana penggunaan tanah dalam permohonan penerbitan HGB sementara RZWP3K belum disahkan?" kata Irman.

Senada dengan Asep, Irman meminta BPN segera meninjau kembali HGB sebagaimana permintaan Pemprov DKI.

"Seharusnya BPN menangkap 'sinyal' itikad baik dari Pemprov DKI Jakarta untuk menjamin kepastian hukum," ujarnya.
[Gambas:Youtube] (gil)
LAINNYA DI DETIKNETWORK
LIVE REPORT
TERPOPULER