Jakarta, CNN Indonesia -- Wakil Ketua DPR Taufik Kurniawan mendukung perluasan pasal tentang penghinaan terhadap Presiden dan Wakil Presiden dalam Revisi Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP). Kepala Negara dianggap sebagai jabatan yang istimewa.
“Jadi kalau ada lembaga Presiden, ada istilahnya pencemaran nama baik secara kelembagaan. Ya itu harus diatur dengan UU,” ujar Taufik, di Gedung DPR, Jakarta, Rabu (31/1).
Perluasan pasal dianggap penting untuk menjaga kewibawaan Presiden dan Wapres yang memiliki keistimewaan
primus inter pares, atau secara harfiah berarti yang pertama di antara yang sederajat.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Kalau dikatakan itu lembaga kepresidenan dengan semua lembaga tinggi negara kita sama, kan tidak,” ucapnya.
Keistimewaan itu, lanjut Taufik, diperoleh karena Presiden dan Wapres merupakan sosok yang mendapat mandat langsung dari masyarakat untuk memimpin sebuah negara.
"Presiden itu kan adalah figur. Struktur lembaga kepresidenan yang sama-sama harus kami hormati,” ujar dia, yang juga menjabat sebagai Wakil Ketua Umum PAN itu.
 Ketua MK Arief Hidayat (tengah) saat memutus uji materi salah satu pasal dalam KUHP, 2017. MK pernah membatalkan pasal penghinaan terhadap Presiden pada 2006. ( Foto: CNN Indonesia/Safir Makki) |
Taufik meminta semua pihak tidak perlu risau dengan perluasan pasal tersebut. Sebab, tetap ada kesamaan hak di mata hukum jika merasa nama baiknya dicemarkan.
RKUHP dikatakannya tidak menghapus pasal tentang pencemaran nama baik. Hal ini untuk mengakomodasi setiap warga negara yang merasa nama baiknya dicemarkan.
“Sekarang pun setiap warga boleh mengajukan tuntutan ke Kepolisian mana kala merasa dicemarkan nama baiknya," imbuh dia.
Lebih dari itu, ia menegaskan, perluasan pasal itu dilakukan untuk mencegah kritik masyarakat terhadap kepala negara yang tidak sesuai dengan aturan hukum. Pasalnya, ia melihat saat ini banyak oknum yang belebihan dalammenyampaikan aspirasi dan malah bertentangan dengan demokrasi.
“Prinsipnya kami negara demokasi, bebas bertanggungjawab. Jangan cuma sebebas-bebasnya menghina, mencaci, memfitnah orang," cetusnya.
Diketahui, pasal 262 Rancangan RKUHP menyebutkan tentang aturan sanksi dalam delik penghinaan terhadap Presiden yang lebih luas ketimbang KUHP saat ini.
Bahwa, setiap orang yang menyiarkan, mempertunjukkan, atau menempelkan tulisan atau gambar sehingga terlihat oleh umum, atau memperdengarkan rekaman sehingga terdengar oleh umum, atau menyebarluaskan dengan sarana teknologi informasi, yang berisi penghinaan terhadap Presiden atau Wapres dengan maksud agar isi penghinaan diketahui atau lebih diketahui umum, dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun atau pidana denda paling banyak kategori IV.
Pada KUHP saat ini, pasal penghinaan terhadap Presiden sempat diatur dalam pasal 134, 136, dan 137 KUHP. Namun, pada 4 Desember 2006 Mahkamah Konstitusi (MK) melalui putusan Nomor 013-022/PUU-IV/2006 telah menghapus ketiga pasal itu.
(arh/gil)