Jakarta, CNN Indonesia -- Ahli hukum tata negara Harjono menyebut pembubaran organisasi kemasyarakatan (ormas) tidak harus dilakukan melalui proses peradilan.
Hal tersebut disampaikan oleh Harjono dalam sidang uji materi Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2017 tentang Organisasi Kemasyarakatan (ormas) di Gedung MK, Selasa (6/2).
Menurut Harjono, hal tersebut telah tercantum secara jelas dalam UU Ormas pasal 80A, di mana pencabutan status badan hukum ormas, otomatis juga sebagai pembubaran atas ormas tersebut.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Itu kan ketentuan UU. Kalau badan hukumnya dicabut, itu dianggap sebagai pembubaran," ucap Harjono.
Dalam UU Ormas yang sebelumnya, pembubaran ormas harus melalui tahap peradilan terlebih dahulu. Namun, lanjutnya, dengan adanya UU Ormas yang baru, maka proses peradilan pun tak diperlukan lagi.
"Itu (proses peradilan) dulu yang kemudian diubah dengan ini, dan ini pun betul, tidak kemudian bertentangan dengan yang dulu," tutur Harjono.
Mantan hakim konstitusi ini pun menyampaikan jika UU Ormas tersebut berdasarkan pada mekanisme hukum administrasi negara, bukan pada hukum pidana. Menurut Harjono, hukum administrasi negara yang menjadi dasar dari UU Ormas tersebut memiliki mekanisme yang berbeda dengan hukum pidana.
Hukum pidana, kata Harjono memiliki sanksi dengan tujuan untuk mengakhiri perbuatan yang dilanggar oleh yang bersangkutan agar tidak berlanjut atau terulang kembali.
"Kalau ada perbuatan yang melanggar diingatkan dulu, kalau diingatkan tapi dia terus, mungkin kemudian harus dihentikan," tuturnya.
Karenanya, menurut mantan hakim konstitusi ini, jika sebuah ormas yang berbadan hukum dianggap telah melakukan pelanggaran dan memberikan dampak siginifikan bagi masyarakat, maka bisa langsung dicabut badan hukumnya dan dibubarkan.
"Ini mekanisme dalam hukum administrasi negara," katanya.
Lain halnya dengan mekanisme dalam hukum pidana. Harjono berpendapat, dalam hukum pidana tujuannya adalah untuk mencari siapa pelaku pelanggaran tersebut.
Namun, begitu pelaku ditangkap, maka pelanggaran tetap bisa diteruskan oleh pihak lain.
"Tapi kalau hukum administrasi negara itu stop pelanggaran, perkara kemudian siapa yang melanggar itu urusan pidana," ujar Harjono.
(rah/rah)