Jakarta, CNN Indonesia -- Kehadiran Permendagri Nomor 3 Tahun 2018 Tentang Penerbitan Surat Keterangan Penelitian menimbulkan polemik pekan ini. Kemarin Menteri Dalam Negeri Tjahjo Kumolo menyatakan permendagri tersebut dibatalkan, dan kembali ke peraturan lama.
Selain itu, Tjahjo mengatakan akan mengundang sejumlah pihak termasuk akademisi mengikuti diskusi kelompok terarah (FGD) yang digelar 8 Februari 2018 untuk membahas mengenai aturan penelitian.
Menanggapi sempat terbitnya permendagri yang menimbulkan polemik tersebut, Peneliti Senior Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Asvi Warman Adam menduga terbitnya itu terkait tahun politik 2018-2019.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Salah satunya, duga Asvi, untuk meredam hadirnya lembaga survei dan penelitian abal-abal. Asvi melihat kemunculan lembaga survei semakin marak dalam 15 tahun terakhir. Tingkat kepercayaan masyarakat kepada hasil survei lembaga-lembaga tersebut juga meningkat setiap tahun.
 Tjahjo Kumolo. (CNN Indonesia/Adhi Wicaksono) |
Walhasil, tidak sedikit lembaga survei yang tiba-tiba muncul dan tidak memiliki badan hukum. Lembaga-lembaga survei itu tentu berafiliasi dengan para calon kepala daerah.
"Saya menduga peraturan itu untuk kegiatan seperti ini. Terutama terkait pilkada dan pilpres dalam satu dua tahun ini," katanya kepada
CNNIndonesia.com, Selasa (6/2).
Asvi menduga Mendagri Tjahjo Kumolo tidak ingin ada lembaga survei yang menghasilkan penelitian yang bersifat kontroversi dan menyinggung sentimen Sukur, Agama, Ras, dan Antargolongan (SARA). Menurut Asvi, itu memang sangat berbahaya.
"Misalnya, ada lembaga survei yang menyatakan bahwa calon A tidak beragama Islam atau sempat pindah agama, sementara calon B latar belakangnya lebih baik," kata Asvi.
"Kan itu berdampak negatif. Menyudutkan suatu pihak dengan menyinggung SARA," lanjut pria yang di LIPI tercatat di satuan kerja Pusat Penelitian Politik dengan golongan Pembina Utama tersebut.
Di satu sisi, Asvi menilai lembaga survei abal-abal itu marak bergerilya untuk kepentingan Pilkada, bukan pemilu atau pilpres yang bersifat nasional. Pasalnya, menurut Asvi, pengawasan di tingkat daerah tak seketat tingkat nasional.
"Kalau tingkat nasional, pengawasannya cukup lah," kata Asvi.
Permendagri Nomor 3 tahun 2018 ini merupakan pengganti dari Permendagri Nomor 64 tahun 2011 dan Permendagri Nomor 7 tahun 2014. Perbedaan Permendagri Nomor 3 tahun 2018 dengan permendagri sebelumnya adalah penggunaan kata 'dampak negatif' untuk menolak pemberian izin penelitian tersebut.
Di Permendagri Nomor 64 Tahun 2011, Kemendagri hanya akan menolak menerbitkan SKP jika peneliti tidak mendapat tanda tangan dari pimpinan yang bersangkutan.
Kini Tjahjo telah membatalkan Permendagri Nomor 3 tahun 2018 pada Selasa malam (6/2). Dengan demikian, Tjahjo menunda permendagri tersebut untuk disosialisasikan dan diterapkan.
"Dengan berbagai pertimbangan, saya sebagai Mendagri membatalkan dulu permendagri tersebut yang memang belum diedarkan dengan pertimbangan akan menyerap aspirasi berbagai kalangan khususnya akademisi- lembaga penelitian dan DPR secara mendalam," kata Tjahjo soal permendagri yang menuai polemik terkait pemberian izin penelitian tersebut.
(kid)