Jakarta, CNN Indonesia -- Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras) mendesak Presiden Joko Widodo untuk menolak pengesahan Revisi Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP).
Koordinator Bidang Advokasi Kontras Putri Kanesia mengatakan, desakan tersebut didasari banyaknya pasal bermasalah serta bertentangan dengan upaya perlindungan dan pemenuhan HAM.
"Presiden Republik Indonesia selaku pimpinan tertinggi Negara Kesatuan Republik Indonesia untuk menolak pengesahan RKUHP," kata Putri di Kantor Kontras, Kamis (8/2).
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Kontras juga meminta DPR menunda pengesahan RKUHP dan meminta DPR untuk melibatkan masyarakat dalam perumusan RKUHP tersebut sehingga tidak melanggar prinsip-prinsip HAM.
Tak hanya itu, Kontras juga meminta Kementerian Hukum dan HAM selaku perangkat pemerintahan yang berfungi merumuskan, melaksanakan, dan menetapkan kebijakan di bidang hukum dan HAM untuk bisa memberikan masukan terhadap perumusan pasal di dalam RKUHP tersebut.
Desakan tersebut didasari atas kritik Kontras terhadap empat tema krusial dalam sejumlah pasal yang masuk dalam RKUHP.
Pertama, RKUHP dianggap merintangi penuntasan kasus pelanggaran HAM berat.
Kontras berpendapat dengan diaturnya pelanggaran HAM berat dalam RKUHP justru akan bertentangan dengan Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM.
"Mulai dari lebih rendahnya ancaman hukuman, diberlakukannya asas
ne bis in idem (tidak dapat dituntut dua kali untuk perkara yang telah berkekuatan hukum tetap), peluang penyelesaian di luar hukum, hingga ketidakjelasan ganti rugi bagi korban," kata Putri.
Putri menyebut, ketidakjelasan konsep tentang pelanggaran HAM berat dalam RKUHP justru bisa memperkuat potensi impunitas dalam kasus pelanggaran HAM berat.
 Koordinator Bidang Advokasi Kontras, Putri Kanesia. (CNN Indonesia/Bimo Wiwoho) |
Kedua, Kontras mengkritisi RKUHP yang berpotensi memberikan ancaman tehadap kebebasan sipil, salah satunya terkait dengan dihidupkannya kembali pasal penghinaan presiden.
Ketiga, masih ada pidana hukuman mati dalam RKUHP meski diubah menjadi pidana alternatif.
Pidana alternatif tersebut artinya setiap terpidana yang divonis hukuman mati harus menjalani masa tunggu selama 10 tahun. Setelahnya, pemerintah melakukan evaluasi apakah yang bersangkutan dianggap berkelakuan baik sehingga hukuman bisa diturunkan menjadi seumur hidup atau 20 tahun.
Namun, Kontras beranggapan pengaturan pidana mati sebagai pidana alternatif justru menimbulkan kerancuan dan ketidakpastian hukum.
Terakhir, menyempitnya kategori penyiksaan dan tindakan tidak manusiawi yang masuk dalam Bab tentang Tindak Pidana Paksaan dan Tindak Pidana Pemaksaan dalam pasal 613 RKHUP.
Kontras berpendapat pasal tersebut justru mempersempit definisi penyiksaan sebagaimana yang telah diatur dalam Konvensi Anti Penyiksaan yang telah diratifikasi melalui Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1998.
"Tidak dijelaskan secara spesifik bentuk pertanggungjawaban, tidak diaturnya bentuk perlakuan atau penghukuman lain yang kejam," ujar Putri.
(pmg)