Jakarta, CNN Indonesia -- Revisi Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) yang tengah dibahas di Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dianggap bisa mengancam kebebasan pers. Dalam draf revisi KUHP yang dinilai bisa mengancam kerja pers ada pada Pasal 309 dan Pasal 310
"Saya rasa sasarannya sebenarnya bukan hanya kami para jurnalis, tapi kelompok-kelompok yang prodemokrasi juga menjadi sasaran kriminalisasi dari aparat negara," kata Ketua Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Jakarta, Ahmad Nurhasim di kantor LBH Pers, Jakarta, Selasa (13/2).
Sejumlah pasal dalam RKUHP yang dianggap mengancam kebebasan pers adalah pasal 309 dan 310.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Pasal 309 ayat (1) dalam draf RKUHP per 10 Januari berbunyi:
Setiap orang yang menyebarkan berita bohong yang mengakibatkan keonaran atau kerusuhan dalam masyarakat, dipidana dengan pidana penjara paling lama enam tahun ataupidana denda paling banyak kategori III.Kata Nurhasim, pengertian dari berita bohong tersebut tak dijelaskan secara jelas.
"Ini menjadi masalah memang, di satu sisi kita para jurnalis ingin melawan
hoax, informasi yang tidak akurat, informasi yang propaganda," tuturnya.
"Tapi di sisi lain kita perlu ingatkan, bahwa orang menyebarkan informasi tidak perlu dipidanakan, kalau dia menyiarkan berita bohong mekanisme di UU Pers sudah diatur," kata Nurhasim.
Meskipun demikian, Nurhasim mengakui ada dampak positif mengenai pengetatan penyebaran berita bohong. Menurut dia, para jurnalis akan lebih hati-hati dalam mencari fakta dan menulis.
"Dalam artian para jurnalis lebih berhati-hati lagi untuk mencari fakta. Tapi pertanyaanya bohong dan tidak, ini diserahkan pada penegak hukum, itu yang jadi masalah," tuturnya.
Nurhasim pun mengajak masyarakat untuk bersama-sama mengkritisi dan menolak pasal-pasal yang berpotensi mengancam kerja jurnalis dan masyarakat untuk memperoleh informasi yang akurat dan kritis.
UU Pers EfektifSementara itu, Ketua Umum Asosiasi Media Siber Indonesia (AMSI), Wenseslaus Manggut mengatakan pemerintah dan DPR harus melihat bahwa Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers, merupakan undang-undang
lex spesialis.
Pria yang akrab disapa Wens itu menyebut Undang-Undang Pers, dalam menyelesaikan sengketa pemberitaan sejauh ini sudah bekerja dengan baik.
"Orang-orang yang keberatan dengan berita sering juga datang ke Dewan Pers dan diselesaikan di sana masalahnya, dengan mekanisme undang-undang pers," kata dia dalam kesempatan yang sama.
Wens menilai revisi KUHP yang bergulir di DPR justru ingin mengembalikan permasalahan dalam pemberitaan ke ranah pidana. Padahal, kata Wens masyarakat dan media merasa penyelesaian masalah pemberitaan sesuai dengan Undang-Undang Pers merupakan mekanisme yang baik.
Wens mengatakan, pemerintah maupun DPR harus bisa membedakan informasi yang diproduksi oleh media massa dengan informasi yang diproduksi lewat perusahaan teknologi atau media sosial. Dia menduga pemerintah tak mampu melakukan pembedaan itu saat menyusun RKUHP.
"Yang diproduksi oleh perusahaan pers jelas sudah diatur di undang undang pers. Sedangkan produksi informasi yang beredar di perusahaan teknologi itu memang mesti dicari caranya bagaimana menekan itu," ujarnya.
(wis/sur)