Jakarta, CNN Indonesia -- Wakil Ketua DPR Fadli Zon menilai pasal
contempt of parliament atau penghinaan terhadap parlemen di Undang-Undang tentang MPR, DPR, DPD dan DPRD (UU MD3) berbeda dengan aturan pasal penghinaan presiden di Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP).
Penghinaan terhadap presiden dan wakil presiden di RKUHP diatur dalam pasal 263-264. Pasal itu dikritik oleh publik termasuk Fadli Zon karena dianggap mengancam demokrasi.
Di sisi lain, Fadli tak mengambil sikap tegas terhadap pasal penghinaan terhadap parlemen di UU MD3. Padahal, publik juga mengkritik pasal itu karena dianggap bisa mengekang kebebasan berpendapat atau kritik terhadap dewan.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Ya sebenarnya harus dibedakan, kalau itu terkait merendahkan interpretasinya itu mungkin ini kan belum, apa didalami seperti apa penjelasannya," kata Fadli di Gedung DPR, Jakarta, Selasa (13/2).
Pasal penghinaan parlemen diatur di Pasal 122 poin k dalam UU MD3. Beleid pasal itu menyebut Mahkamah Kehormatan Dewan dapat mengambil langkah hukum terhadap perseorangan, kelompok orang, atau badan hukum yang merendahkan kehormatan DPR dan anggota DPR.
Fadli menilai Pasal 122 itu tidak mempersoalkan kritik atau masukan kepada parlemen. Menurutnya, kritik sekeras apapun kepada DPR tidak ada masalah.
"Menurut saya anggota DPR itu harus tahan, punya daya tahan menerima kritik dan sebagainya. Jadi bukan memagari dari hal itu," katanya.
Fadli berpendapat, pasal ini lebih ditujukan terhadap penghinaan kepada lembaga DPR. Publik pun dipersilakan jika akan menggugat UU MD3 ke Mahkamah Konstitusi.
Nantinya, Fadli mengatakan jika diuji materi maka MK bisa memberikan batasan tentang frasa merendahkan dalam pasal tersebut yang dianggap menimbulkan interpretasi luas.
"Mungkin kalau di
judicial review MK memberi batasan-batasan. Termasuk penghinaan, itu kan susah. Orang
memposting meme itu bisa dianggap penghinaan, kalau itu delik aduan. Kalau ini menjadi delik umum lebih berbahaya lagi," kata Fadli.
(wis/sur)