Jakarta, CNN Indonesia -- Rancangan UU 17/2014 tentang MPR, DPR, DPD, DPRD (MD3) resmi disahkan menjadi undang-undang, Senin (12/2) malam. Terdapat 13 poin materi dalam RUU MD3 yang di antaranya membahas soal penambahan kursi pimpinan MPR, DPR, dan DPD hingga penguatan hak imunitas bagi anggota DPR.
Peneliti Forum Masyarakat Peduli Parlemen Indonesia (Formappi) Sebastian Salang menilai, proses pembahasan RUU MD3 ini terkesan tertutup. Tak heran muncul sejumlah revisi pasal yang dianggap hanya menguntungkan para anggota dewan.
Salah satu yang disoroti adalah pasal 245 yang mengatur bahwa pemanggilan anggota DPR terkait tindak pidana harus mendapatkan persetujuan tertulis dari presiden. Menurut Sebastian, revisi pasal ini sengaja dibuat sebagai upaya menghindari panggilan dari aparat penegak hukum.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Sejak lama DPR berupaya agar tidak bisa dipanggil begitu saja, misalnya oleh KPK, maka dicari-carilah ketentuannya melalui pasal tentang imunitas itu," ujar Sebastian kepada
CNNIndonesia.com.
Ia juga menyoroti revisi pasal 122 poin k tentang kewenangan Mahkamah Kehormatan Dewan (MKD) untuk mengambil langkah hukum terhadap perseorangan, kelompok, atau badan hukum yang merendahkan kehormatan DPR dan anggota DPR.
Revisi pasal itu dinilai berpotensi menimbulkan ancaman pidana bagi siapa pun pihak yang mengkritik DPR maupun anggotanya. Padahal, kata Sebastian, MKD bukan lembaga penegak hukum yang berwenang mengatur pihak luar anggota dewan.
"MKD itu dibentuk untuk mengurusi kehormatan dewan, bukan publik. Jadi ketika pasal itu mengatur masyarakat sudah salah kaprah," katanya.
Kewenangan MKD, lanjut Sebastian, mestinya hanya mengatur anggota dewan yang melanggar kode etik atau peraturan perundang-undangan. "Kalau dia mau atur masyarakat itu sudah melampaui kewenangannya," imbuh Sebastian.
Revisi pasal itu, menurutnya, justru semakin menunjukkan DPR sebagai lembaga yang antikritik. Padahal era demokrasi seharusnya mengedepankan keterbukaan pada kritik kinerja lembaga-lembaga negara.
"Tidak heran kalau DPR dinilai sebagai lembaga anti-kritik dan anti-demokrasi," tuturnya.
Saat ini pihaknya tengah mempertimbangkan rencana menggugat beleid tersebut ke Mahkamah Konstitusi (MK). Sebastian akan mempelajari terlebih dulu pasal-pasal dalam UU MD3 yang baru.
MKD mengalami penambahan fungsi yaitu pencegahan, pengawasan dan penindakan. Hal itu disisipkan pada Pasal 121A.
Sementara itu, pada Pasal 122 tugas MKD mengalami perubahan dari sebelumnya empat poin, menjadi 14 poin. Di antaranya adalah Pasal 122 poin k tentang tindakan mengambil langkah hukum.
Beleid pasal itu menyatakan, dalam menjalankan tugas sebagaimana dimaksud Pasal 121A, MKD bertugas mengambil langkah hukum dan atau langkah lain terhadap perseorangan, kelompok orang, atau badan hukum yang merendahkan kehormatan DPR dan anggota DPR.
Nantinya, MKD dapat memanggil seseorang yang melakukan penghinaan kepada DPR atau anggota, dan melakukan penyelidikan, sampai membuat keputusan. Mengenai batasan antara kritikan dan penghinaan akan diatur lebih lanjut dalam tata tertib yang disusun MKD.
(gil)