Jakarta, CNN Indonesia -- Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras) mendesak Kepolisian Negara Republik Indonesia (Polri) mengautopsi ulang jenazah Muhammad Jefri alias Abu Umar yang tewas setelah ditangkap tim Detasemen Khusus (Densus) 88 Antiteror Polri di Indramayu, Jawa Barat.
Koordinator Yati Andriyani mengatakan autopsi ulang harus melibatkan pihak kedokteran yang independen dan disaksikan pihak keluarga untuk memastikan penyebab kematian Jefri.
"(Mendesak) Polri untuk melakukan autopsi ulang terhadap jenasah MJ agar diketahui penyebab pasti kematiannya," kata Yati dalam siaran persnya yang diterima Sabtu (17/2).
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Dia menilai, penjelasan Kepala Divisi Humas Polri Irjen Setyo Wasisto yang menyatakan penyebab kematian Jefri adalah serangan jantung, masih tidak jelas. Menurutnya, kematian Jefri ini berpotensi mengandung unsur kecacatan dalam operasi pemberantasan terorisme oleh Densus 88.
Yati menyatakan, tindakan Densus 88 dalam kematian Jefri patut dipertanyakan, karena serangan jantung dapat terjadi akibat dipicu oleh kondisi dan situasi tertentu.
Ia pun mempertanyakan metode pendekatan atau penggalian informasi terhadap terduga pelaku tindak pidana yang memiliki penyakit atau riwayat penyakit mematikan.
"Dalam kasus ini tidak dijelaskan secara terbuka bagaimana penanganan terhadap para terduga teroris atau dugaan tindak pidana lainnya saat berada di bawah penguasaan Densus 88," kata dia.
Dugaan PelanggaranYati pun meminta Kapolri Jenderal Tito Karnavian menindak tegas anggotanya bila menemukan dugaan pelanggaran dalam insiden kematian Jefri ini. Dia juga meminta Divisi Profesi dan Pengamanan Polri tidak terburu-buru menyimpulkan tidak ada pelanggaran prosedur yang dilakukan anggota Densus 88 saat menangani Jefri.
Menurutnya, Divisi Propam Polri harus melakukan pemeriksaan secara menyeluruh lebih dahulu.
Kemudian, Yati juga meminta Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) ikut memantau kematian Jefri dan menyelidiki dugaan pelanggaran HAM. Kontras, katanya, juga mendesak Ombudsman Republik Indonesia melakukan investigasi terkait dengan maladministrasi dalam proses penyidikan Jefri
"Penting juga untuk mendalami prosedur administrasi autopsi yang dilakukan oleh pihak kepolisian, yang mana prosedur autopsi tersebut harus seizin dari pihak keluarga," kata Yati.
Terakhir, dia meminta Komisi III DPR dan Panitia Kerja (Panja) RUU Pemberantasan DPR memanggil, meminta penjelasan, dan pertangtungjawaban Polri atas kematian Jefri ini.
Yati mengatakan, DPR harus memastikan aturan RUU Pemberantasan Terorisme dapat memberikan rumusan yang dapat menjamin pencegahan dan akuntabilitas peristiwa serupa.
Sebelumnya, Kepala Divisi Humas Polri Irjen Setyo Wasisto menyatakan Jefri meninggal dunia akibat sakit jantung. Hal itu diketagui berdasarkan hasil
visum et repertum Rumah Sakit Bhayangkara Polri, Kramatjati, Jakarta Timur.
Setyo membeberkan penyakit jantung yang diidap Jefri kambuh ketika Densus 88 Antiteror menangkapnya dan memintanya untuk menunjukkan keberadaan terduga teroris lain.
Saat ditangkap, Jefri mengeluh sesak nafas kepada personel Densus 88 Antiteror. Mengetahui hal tersebut, Jefri kemudian langsung dilarikan ke klinik di sekitar lokasi penangkapan.
"Namun kami juga ikut prihatin pada jam 18.00 WIB berdasarkan keterangan dokter di klinik tersebut tersangka dinyatakan meninggal dunia dan selanjutnya dibawa ke Rumah Sakit Polri Kramat Jati untuk dilakukan pemeriksaan kedokteran forensik," ujarnya.
Pascapindah ke RS Bhayangkara Polri, Setyo mengklaim dokter forensik telah melakukan pemeriksaan luar dan dalam tubuh Jefri. Ia berkata pemeriksaan menunjukkan Jefri meninggal akibat sakit jantung.
(asa)