Dua Metode Kontras Tuntaskan Pelanggaran HAM Papua

Dias Saraswati | CNN Indonesia
Minggu, 10 Des 2017 18:07 WIB
Koordinator Kontras Yati Andriyani berpendapat, penyelesaian kasus di Aceh bisa menjadi salah satu tolak ukur dalam penyelesaian kasus di Papua.
Koordinator Kontras Yati Andriyani berpendapat, penyelesaian kasus di Aceh bisa menjadi salah satu tolak ukur dalam penyelesaian kasus di Papua. (CNN Indonesia/Bimo Wiwoho)
Jakarta, CNN Indonesia -- Koordinator Komisi untuk Orang Hilang dan Tindak Kekerasan (Kontras) Yati Andriyani mengatakan ada sejumlah hal yang harus dilakukan untuk menyelesaikan kasus pelanggaran HAM di Papua.

Pertama, kata Yati adalah dengan meninjau ulang model pendekatan keamanan di Papua.

Menurutnya, model pendekatan keamanan yang selama ini diterapkan menjadi salah satu faktor banyaknya kasus pelanggaran HAM yang terjadi di Papua.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

"Sejauh mana pendekatan keamanan di Papua itu efektif untuk satu membuat Papua menjadi lebih damai," kata Yati di kawasan Menteng, Minggu (10/12).

Kedua, dengan melakukan penegakkan hukum di Papua untuk menyelesaikan kasus pelanggaran HAM tersebut.

Sebab, Yati menyebut tingkat impunitas terkait dengan kasus pelanggaran HAM di Papua sangat besar.

"Impunitas itu dalam artian ada masyarakat disiksa tapi proses hukumnya tidak jalan," ujarnya.

Yati beranggapan, jika pola impunitas tersebut terus dilalukan, maka penyelesaian kasus pelanggaran HAM di Papua tidak akan terwujud. Termasuk kasus Wasior dan Wamena yang sudah menjadi perhatian dunia internasional.

"Menurut saya kalau evaluasi keamanan dilakukan, kedua akuntabilitas di kasus pelanggaran HAM dilakukan setidaknya memberikan ruang untuk celah positif mendorong terjadinya situasi yang lebih baik di Papua," tutur Yati.

Di sisi lain, Yati berpendapat, penyelesaian kasus di Aceh bisa menjadi salah satu tolak ukur dalam penyelesaian kasus di Papua.
Koordinator Kontras Yati Andriyani berpendapat, penyelesaian kasus di Aceh bisa menjadi salah satu tolak ukur dalam penyelesaian kasus di Papua.Koordinator Kontras Yati Andriyani berpendapat, penyelesaian kasus di Aceh bisa menjadi salah satu tolak ukur dalam penyelesaian kasus di Papua. (CNN Indonesia/Safir Makki)
Meski begitu, Yati menilai, ada satu kekhasan dan kompleksitas tersendiri yang ada di Papua yang memang perlu menjadi perhatian bagi pemerintah.

"Yang berbahaya di Papua ini kan pemerintah terlalu alergi untuk mendengarkan pendapat mereka dalam menentukan nasib sendiri di Papua, karena alergi tersebut jadi sejak awal keran-keran ekspresi itu sudah dibungkam," ujar Yati.

"Jadi kalau misalkan apakah bisa belajar dari Aceh tentu saja bisa, tetapi itu bukan satu-satunya cara, bukan satu-satunya rujukan," imbuhnya.

Untuk penyelesaian kasus pelanggaran HAM di Papua, kata Yati, salah satu caranya adalah dengan membuka ruang bagi masyarakat Papua untuk menyampaikan pendapatnya.

"Kata kuncinya adalah mendengar dulu seluruh aspirasi, dibuka dulu ruang-ruang demokrasi di sana. Nanti dari situ akan ada tahapan strategi-strategi yang efektif untuk bisa mencari cara-cara yang terbaik untuk Papua," tutur Yati.

Sementara itu, terkait dengan Tim Penanganan Dugaan Pelanggaran HAM di Papua dan Papua Barat yang dibentuk Menko Polhukam, Yati menyebut hingga saat ini tidak ada hasil yang ditunjukkan.

Bahkan, Yati menilai, tim tersebut memiliki banyak kecacatan. Pertama, karena tim tersebut ada di bawah koordinasi Wiranto sebagai Menko Polhukam.

Sebab, kata Yati, Wiranto merupakan orang yang diduga terlibat dalam pelanggaran HAM berdasarkan penyelidikan Komnas HAM.

"Kenapa penyelesaian pelanggaram HAM diserahkan kepada orang yang harusnya dimintai tanggung jawab, ini cacat moril dan etis, maka sejak awal kita tidak pernah setuju Wiranto jadi Menko Polhukam," ujar Yati.

Yang kedua, dengan koordinasinya di bawah Menko Polhukam, maka Yati beranggapan tim tersebut melakukan penyelesaian dengan pendekatan politis.

Padahal seharusnya penyelesaian dilakukan Komnas HAM sebagai penyelidik, kemudian hasilnya penyelidikan tersebut diserahkan ke Kejaksaan Agung sebagai penyidik untuk nantinya dibawa ke pengadilan HAM.

"Menko Polhukam apa wewenangnya, jadi sejak awal sudah cacat etik dan prosedural. Kami menduga ini upaya infiltrasi, upaya negara, pemerintah untuk cuci tangan menyelesaikan masalah di Papua," ucap Yati.

Kontras mencatat sepanjang 2017 setidaknya terjadi 61 kasus kekerasan dan pelanggaran HAM di Papua.

Dari sejumlah peristiwa tersebut, kasus penganiayaan mendominasi dengan jumlah 24 kasus kemudian diikuti dengan kasus penembakan sebanyak 20 kasus. (djm/djm)
LAINNYA DI DETIKNETWORK
LIVE REPORT
TERPOPULER