Jakarta, CNN Indonesia -- Wakil Ketua DPR Fahri Hamzah mengatakan penolakan Presiden Joko Widodo untuk menandatangani UU MPR, DPR, DPD, dan DPRD (MD3) tak lebih dari bentuk pencitraan belaka.
Dengan atau tanpa tanda tangan Jokowi, kata Fahri, perundangan itu tetap berlaku.
"30 hari presiden tidak mau menunjukkan sikap, karena mau pencitraan begitu ya, itu akan jadi UU. Harus dimasukan ke dalam lembar negara, diumumkan oleh Menkumham, dan harus ditaati oleh semua orang," ujar dia, di gedung DPR, Jakarta, Kamis (21/2).
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Baginya, sikap Jokowi ini juga merupakan bentuk ketidakpahaman akan makna yang terkandung dalam pasal-pasal tersebut.
"Makanya kalau misalnya sampai akhir pak Jokowi tidak teken, berarti seluruh kabinet itu gagal memahami falsafat demokrasi," ucapnya.
Fahri menjelaskan, pasal penghinaan terhadap parlemen atau contempt of parliament yang ada dalam UU MD3 sengaja dibuat untuk memperkuat DPR dalam mengawasi eksekutif.
Selain itu, hak imunitas anggota DPR yang pada sejumlah pasal di UU MD3 tersebut diperlukan untuk mengimbangi kekuatan eksekutif. Ia khawatir, eksekutif akan bertindak sewenang-wenang dengan kekuasannya.
"Di seluruh dunia itu parlemennya itu ada hak imunitas. Karena pada dasarnya parlemen diciptakan untuk mengimbangi eksekutif yang sangat kuat," dalih politikus PKS ini.
Sebelumnya, Menkumham Yasonna Laoly menyatakan ada kemungkinan Presiden Jokowi tidak menandatangani UU MD3 yang sudah diketok di rapat paripurna DPR karena baru mendapat alporan soal pasal-pasal kontroversial di dalamnya.
Diketahui, Pasal 73 UU No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan menyatakan bahwa rancangan UU yang telah disetujui bersama antara DPR dan Pemerintah sah sebagai UU meski Presiden tidak menandatanganinya 30 hari sejak rancangan UU itu disetujui bersama. (arh/gil)