Jakarta, CNN Indonesia -- Hasil survei lembaga Alvara Research Center menunjukkan terdapat tiga nama yang berpotensi mendampingi Presiden Joko Widodo di Pilpres 2019. Ketiga nama itu ialah Jenderal TNI Gatot Nurmantyo, Ketua Umum PKB Muhaimin Iskandar dan Agus Harimurti Yudhoyono.
Pendiri Alvara Research Center Hasanuddin Ali mengatakan ketiga nama itu mendapat persetujuan paling tinggi dari responden dibandingkan nama Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan, Ketua MPR Zulkifli Hasan dan Kapolri Jenderal Tito Karnavian yang juga disimulasikan mendampingi Jokowi.
"Tiga tokoh yang mendapat tingkat persetujuan paling tinggi untuk jadi cawapres Jokowi adalah Gatot (61,9 persen), Muhaimin (59,6 persen) dan Agus Harimurti Yudhoyono (55,5 persen)," kata Hasanuddin di Jakarta, Jumat (23/2).
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Jika Jokowi berpasangan dengan Tito maka tingkat persetujuannya hanya 53 persen, dengan Anies hanya 49,6 persen dan Zulkifli 44,4 persen.
Survei Alvara juga menunjukkan bahwa nama Anies, Muhaimin dan AHY merupakan kandidat cawapres potensial jika disimulasikan berpasangan dengan Ketua Umum Partai Gerindra Prabowo Subianto.
"Tiga tokoh yang mendapat tingkat persetujuan paling tinggi untuk jadi cawapres Prabowo adalah Anies (60 persen), Muhaimin (59,4 persen) dan AHY (56,3 persen)," kata Hasanuddin.
Terdapat lima tokoh yang dianggap sebagai sosok cawapres potensial di 2019 menurut hasil survei Alvara Di urutan pertama adalah AHY 17,2 persen, Gatot 15,2 persen, Jusuf Kalla 13,1 persen, Anies 9,3 persen dan Muhaimin alias Cak Imin 8,9 persen.
Namun, jika dikategorikan ke dalam cawapres potensial dari kalangan muda maka AHY unggul di tempat pertama dengan 25,7 persen dibandingkan Anies dan Ridwan Kamil 15 persen dan Cak Imin 14,2 persen.
Akan tetapi Cak Imin unggul dalam kategori cawapres potensial dari tokoh Islam dengan 21,7 persen, disusul Anies 14,9 persen dan Jusuf Kalla 7,8 persen.
"Pertarungan terbesar bukan soal capres tapi cawapres, sehingga kalau kita lihat ada tiga entitas yang nanti akan ramai menjadi pilihan siapapun presidennya, dari militer, muda, dan Islam. AHY representasi anak muda. Cak Imin Islam, Gatot militer," katanya.
Populisme AgamaHasanuddin menjelaskan siapapun yang menjadi pilihan Jokowi atau capres lainnya, ada tiga faktor yang bakal mempengaruhi sosok cawapres di 2019.
"Tren populisme berbasis agama, kemudian persoalan ekonomi, ketiga adalah pemilih muda atau milenial," lanjutnya.
Tren populisme agama dinilai sangat berperan, sementara faktor pemilih milenial karena diprediksi banyak bermunculan di 2019.
Kemudian, faktor ekonomi menjadi penting lantaran kinerja ekonomi pemerintahan Jokowi-JK, disebut sangat rendah.
Hasanuddin melanjutkan, jika populisme berbasis agama yang naik maka pilihan cawapres akan diperebutkan dari kandidat Islam.
"Kalau milenial maka tokoh muda. Kalau ekonomi, maka cawapres berlatar belakang ekonomi atau pengusaha," ujarnya.
Survei Alvara dilakukan dari 17 Januari sampai 7 Februari 2018 dengan melibatkan 2.203 responden melalui wawancara tatap muka dan kuesioner.
Survei ini menggunakan metode
multistage random sampling dengan
margin of error sebesar 2 persen dan tingkat kepercayaan 95 persen. Survei dilakukan serentak di seluruh provinsi di Indonesia dengan menggunakan data penduduk dari Badan Pusat Statistik.
Sebelumnya, survei dari lembaga Saiful Mujani Research and Consulting (SMRC) menunjukkan responden menyambut baik opsi duet Presiden Joko Widodo dan Ketua Umum Partai Gerindra Prabowo Subianto di ajang Pilpres 2019.
"Ada keinginan di masyarakat untuk menggabungkan Jokowi dan Prabowo di 2019. Mayoritas setuju," kata Direktur Utama SMRC Djayadi Hanan dalam paparan hasil survei di kantornya, Jakarta, Selasa (2/1).
Dari survei yang dilontarkan kepada responden mengenai duet tersebut, kata Djayadi, sebanyak 67 persen atau mayoritas responden setuju bila Prabowo dijadikan Cawapres mendampingi Jokowi.
Sementara hanya 28,4 persen yang setuju jika Prabowo menduduki posisi calon presiden dan Jokowi sebagai calon wakil presiden.
"Tentu saja ini pendapat masyarakat yang baru mempertimbangkan satu sisi," kata Djayadi.
(wis)