Jakarta, CNN Indonesia -- Ni Luh Emiati terpaksa menyandang status janda di usianya yang masih sangat muda. Yaitu, 31 tahun. Ia harus menelan pil pahit membesarkan dua buah hatinya tanpa dukungan sang suami.
Suami Ni Luh menjadi satu dari 202 korban meninggal dalam serangan bom di Bali pada 12 Oktober 2002 silam. Suara lirih dan raut wajah nan sendu terlihat ketika perempuan Bali itu harus menceritakan kembali kisah sang suami.
"Sudah pukul 02:00 WITA, suami belum pulang. Pukul 04:00 WITA, suami saya belum juga pulang," ujarnya dengan suara bergetar.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Suami Ni Luh merupakan salah satu pekerja di Sari Club. Ia dan keluarga kecilnya tinggal tak jauh dari sana. Ironisnya, saat ledakan terjadi, suara bom terdengar nyaring ke telinganya. Namun, ketika itu, ia berpikir ledakan berasal dari gardu listrik.
Kemudian, ribut-ribut masyarakat membicarakan ledakan bom di Sari Club. Ni Luh patah hati. Meski demikian, ia berusaha berpikiran positif, bahwa suami tercintanya masih hidup. Lalu, ia mencari sang suami.
"Pagi hari, saya diantar kerabat untuk mencari suami saya di Sari Club. Sepanjang jalan, saya hanya berdoa agar suami saya hidup (selamat)," katanya mengenang.
Alih-alih lega, hati Ni Luh hancur melihat jalanan di sekitar Legian porak poranda. Potongan tubuh korban ledakan berserakan. Namun, ia harus tegar melewati itu demi mencari sang suami.
"Sari Club sudah tidak ada ketika saya sampai. Hanya puing. Saya melihat relawan mengangkat potongan tubuh yang terburai. Saat itu lah, saya sadar, kalau suami saya sudah tidak ada," tuturnya.
Ia mengaku, tak kuasa menahan emosi. Ia sempat menghampiri titik ledakan untuk mencari sang suami. Namun, secepat kilat dihalangi polisi yang tengah berjaga. Polisi memintanya untuk tenang sembari menunjuk Rumah Sakit Sanglah untuk mencari suami di antara korban lainnya.
Ia menurut. Kemudian, ia menyisir satu per satu rumah sakit dan Puskesmas yang dilewatinya hanya untuk mencari sang suami. Hasilnya, nihil.
"Sampai Rumah Sakit Sanglah, mereka (petugas rumah sakit) bilang bahwa suami saya belum ditemukan. Kemudian, empat bulan setelahnya, rumah sakit mengabarkan bahwa suami saya berhasil diidentifikasi," terang Ni Luh.
Ia berserah. Ia tahu, Tuhan akan menguatkannya. Lagipula, anak-anaknya membutuhkannya. Saat itu, anak pertama Ni Luh baru berusia sembilan tahun, sedangkan si bungsu masih 1,5 tahun.
Kepergian sang suami dengan cara yang tragis tak lantas membuatnya memendam amarah. Setelah peristiwa tersebut, Ni Luh justru gencar membagikan kisahnya. Ia berharap, dapat menguatkan dan memotivasi keluarga korban lainnya.
"Saya ingin membagikan rasa sayang. Bukan emosi kebencian. Kekerasan tidak harus dibalas dengan kekerasan, kebencian juga tidak harus dibalas dengan kebencian. Kemarahan dikalahkan dengan kasih sayang," tutur Ni Luh bijak.
Tapi, berbuat tidak lah semudah berkata-kata. Itu yang dialami Ni Luh saat Aliansi Indonesia Damai (Aida) mencoba memfasilitasinya bertemu dengan Ali Fauzi, salah satu pelaku bom Bali yang berperan sebagai instruktur perakit bom.
Pelaku Bom Menangis Dalam kesempatan yang sama, Ali mengungkapkan perasaan bersalahnya. Ia bahkan merasa tersiksa saat menemui keluarga korban dan mendengar kisah pilunya setelah bom meledak merenggut nyawa orang yang mereka cintai.
"Saya nggak kuat rasanya bertemu keluarga korban, termasuk Emiati (panggilan Ni Luh). Saya merasa diadili. Saat itu ada yang belum terima dengan kehadiran saya. Bahkan, ada yang menunjuk-nunjuk mata dan kepala saya," jelasnya.
Namun, Ali tak kuasa menahan tangis. Ia mengingat, hari dimana ia merakit bom di rumahnya bersama tiga kakaknya, yaitu Ali Ghufron, Ali Imron, dan Amrozi. Ali Ghufron dan Amrozi telah dieksekusi mati, sedangkan Imron masih mendekam di balik jeruji.
"Bom Bali I itu musibah, tapi juga anugerah. Karena, setelah itu, polisi berhasil menangkap kakak-kakak saya," imbuhnya.
Dalam kesempatan yang sama, Guru Besar UIN Jakarta Azyumardi Azra mengatakan, saling memaafkan antara korban dan pelaku teror sangat lah penting. Ia mengaku, bersyukur karena budaya Indonesia yang kental untuk saling memaafkan.
"Dendam tidak akan menyelesaikan masalah, karena bisa terjadi di lingkaran kekerasan yang tak selesai," pungkasnya.
Karenanya, ia mengusulkan, pemerintah harus peka melihat situasi ini. Pemerintah tidak bisa lagi hanya memerhatikan penanganan teroris, tetapi juga peduli pada nasib korban dan keluarga korban.
(bir)