Jakarta, CNN Indonesia -- Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Arief Hidayat terancam dijatuhi sanksi berat jika terbukti sekali lagi melanggar kode etik hakim konstitusi.
Arief tercatat dua kali dijatuhi sanksi etik ringan, yakni saat mengirimkan katabelece atau memo kepada pejabat Kejaksaan Agung dan melakukan pertemuan dengan pimpinan Komisi III DPR tanpa undangan resmi pada akhir 2017.
"Aturan di sini kalau sudah satu kali, dua kali, dan ketiga kali kena sanksi, maka kami akan lanjutkan prosesnya ke MKMK (Majelis Kehormatan MK)," ujar Ketua Dewan Etik Mahkamah Konstitusi (MK) Achmad Rustandi saat ditemui di gedung MK Jakarta, Selasa (27/2).
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
MKMK dibentuk atas usulan dewan etik untuk memeriksa dugaan pelanggaran berat yang dilakukan hakim konstitusi. Terakhir kali Majelis Kehormatan MK bertugas memeriksa kasus suap yang menjerat mantan hakim konstitusi Patrialis Akbar.
Selama proses pemeriksaan Majelis Kehormatan, lanjut Rustandi, hakim yang berperkara akan diberhentikan sementara dari tugasnya.
"Ya diusulkan berhentikan sementara. Kemudian MKMK yang akan melanjutkan untuk memeriksa," katanya.
Purnawirawan jenderal TNI ini menjelaskan, dewan etik harus berhati-hati mengumpulkan bukti maupun keterangan sebelum menjatuhkan sanksi.
Dalam pemeriksaan perkara Arief terkait dugaan lobi-lobi pada Komisi III DPR, pihaknya juga memanggil sejumlah anggota Komisi III DPR untuk dikonfirmasi. Namun dari enam anggota yang dipanggil, hanya tiga orang yang memenuhi.
"Kalau alat bukti berupa keterangan saksi ada yang datang, ada yang tidak, ini juga jadi pertimbangan. Kami kan juga tidak bisa memaksa untuk memanggil," tuturnya.
Dari keterangan-keterangan itu, kata dia, dewan etik akhirnya menjatuhkan sanksi ringan bagi Arief. Saat itu Arief dinyatakan tidak terbukti melakukan lobi-lobi namun terbukti melakukan pertemuan dengan pimpinan Komisi III DPR tanpa undangan resmi.
Arief sebelumnya dilaporkan sejumlah kelompok masyarakat dan peneliti MK Abdul Ghoffar ke dewan etik. Guru besar ilmu hukum Universitas Diponegoro itu didesak mundur dari jabatannya karena telah dijatuhi sanksi etik sebanyak dua kali.
(ugo/gil)