Tak Bisa Jaga Integritas, Ketua MK Didesak Mundur

RZR | CNN Indonesia
Rabu, 07 Feb 2018 20:30 WIB
Ketua MK Arief Hidayat didesak mundur dari jabatan karena tak mampu menjaga moral dan etika untuk mengemban amanah sebagai pemimpin hakim konstitusi.
Ketua MK Arief Hidayat (tengah), di Jakarta, belum lama ini. Dia didesak mundur oleh masyarakat sipil karena dinilai mengkhianati cita-cita reformasi. (Foto: CNN Indonesia/Joko Panji Sasongko)
Jakarta, CNN Indonesia -- Ketua Mahkamah Konstitusi (MK), Arief Hidayat dianggap tak mampu menjaga moral dan etika untuk mengemban amanah sebagai pemimpin hakim konstitusi. Arief didesak segera mundur dari kursi Ketua MK.

"Kalau hakim agung di MK tak bisa menjaga moral dan intergritas lebih baik mundur," kata Direktur Eksekutif Kemitraan Monica Tanuhandaru, dalam sebuah diskusi, di Jakarta, Rabu (7/1).

Monica menilai, Arief seharusnya mundur untuk menunjukan sikap negarawan hakim MK. Sikap negarawan itu menjadi acuan bagi sosok hakim MK selama ini.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Arief sudah dua kali dijatuhi sanksi pelanggaran etika ringan oleh Dewan Etik MK. Sebabnya, pertama, kasus katebelece atau surat Arief ke pejabat Kejaksaan Agung agar memuluskan promosi kerabatnya di Gedung Bundar.

Kedua, pertemuan Arief dengan anggota Komisi III DPR di sebuah hotel menjelang uji kepatutan dan kelayakan dia sebagai Hakim Konstitusi MK periode kedua.

Monica menilai, dua pelanggaran etika Arief ini merupakan pengkhianatan terhadap cita-cita MK yang dilahirkan sebagai anak kandung reformasi untuk menjaga konstitusi Indonesia.

"Masyarakat sipil lah yang menegakan reformasi, bahwa MK itu adalah anak kandung reformasi, jadi kami ingin mengembalikan kembali marwah MK yang hancur karena itu," cetus dia.

Pada kesempatan yang sama, peneliti dari Perkumpulan Pemilu untuk Demokrasi (Perludem) Fadli Ramdhani menilai, dua sanksi etik kepada Arief itu telah merusak kepercayaan publik terhadap lembaga MK.

Ia risau, putusan yang dihasilkan MK menjadi tak independen. Terutama, putusan terkait perselisihan hasil Pilkada 2018. Ketidakpercayaan terhadap MK akan berbahaya bagi demokrasi.

"Kalau ada ketidakpercayaan terhadap integritas di MK, maka ini sangat fatal, karena MK yang memberikan keputusan soal sengketa pemilu. Dan diatas MK tak ada upaya hukum lagi," kata Fadli.

UU Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Wali Kota telah mengamanatkan MK sebagai satu-satunya lembaga untuk menangani sengketa Pilkada dan sifat putusannya final dan mengikat.

Selama menjabat sebagai Ketua MK, Arief sudah dua kali dijatuhi sanksi ringan.

Sesuai Peraturan MK 2/2014, jika ada hakim MK yang dua kali melanggar kode etik hakim konstitusi, maka pelanggaran ketiga akan langsung dikategorikan sebagai dugaan pelanggaran berat.

Di lain pihak, mantan Ketua MK Mahfud MD berpendapat, tidak ada keharusan bagi Arief Hidayat untuk mundur dari jabatannya karena mendapat dua kali sanksi etik. Selain itu, tidak ada prosedur hukum yang bisa memaksa Arief untuk mundur.

"Pelanggaran etik kan tergantung masing-masing, kesadaran nurani masing-masing. Sehingga kalau kita mau berpegang pada normatifnya, ya sudah dapat teguran ya sudah," kata dia.

(arh/gil)
LAINNYA DI DETIKNETWORK
LIVE REPORT
TERPOPULER