Catatan: Artikel ini merupakan opini pribadi penulis dan tidak mencerminkan pandangan Redaksi CNNIndonesia.com
Jakarta, CNN Indonesia -- Merah identik dengan berani. Dan salah satu cara menguji keberanian adalah ketika mencoba bertahan di hadapan banyak lampu berwarna merah yang berjejeran di hadapan mata tanpa menyisakan ruang.
Ketika berpergian di jam pulang kantor di Jakarta, ada satu warna yang dominan dalam pandangan. Merah, warna lampu belakang motor dan mobil, mendominasi ruang yang bisa tersapu oleh pandangan. Merah-merah berukuran kecil dan sedang itu berjejalan sehingga hampir tak ada warna lain yang bisa terlihat mata.
Macet. Itulah situasi yang dijumpai saat merah mendominasi. Tiap sentimeter ruas jalan dilahap dengan nikmat oleh roda-roda kendaraan. Nyaris tak ada ruang yang bisa disisakan. Begitu hujan dan genangan datang, maka kemacetan akan menampilkan kualitas terbaiknya di hadapan orang-orang.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Berbicara macet, tak perlu saling tuding menyalahkan gubernur ini dan gubernur itu.
"
Tapi, dulu Jakarta gak separah sekarang macetnya?" adalah
jadi ungkapan yang sering dilontarkan. Tapi, dulu kapan? 15 tahun lalu? 10 tahun lalu?
Sedikit gambaran kecil kenapa Jakarta bisa macet, tanpa perlu menuding kesalahan para pembuat kebijakan.
Sepuluh tahun lalu, sebuah keluarga kecil terdiri dari Ayah, Ibu, dan dua anak yang masih duduk di bangku SD kelas 6 dan 3. Hanya ayah yang melibas jalanan Jakarta, karena anak-anaknya sekolah di SD dekat rumah.
Selang 10 tahun kemudian, bukan hanya ayah yang jadi pengguna jalan Jakarta. Anak yang sulung sudah membawa kendaraan sendiri pergi ke kantor, sedangkan anak yang kedua juga membawa kendaraan sendiri berangkat ke kampusnya. Dari satu yang berpergian, jadi tiga.
Itu dari satu rumah. Belum lagi ribuan rumah lainnya di Jakarta dan sekitarnya. Sila kira-kira sendiri seberapa pesat peningkatan grafiknya.
Belum lagi contoh lain bila ada orang yang 10 tahun lalu masih sendiri, kemudian keberhasilannya di Jakarta membuatnya banyak tetangga di kampungnya untuk ikut merantau dan meramaikan Jakarta. Demikianlah kira-kira banyaknya pertambahan jumlah manusia yang memeriahkan jalanan Jakarta.
Belum lagi jika berbicara kemudahan membeli kendaraan bermotor. Saat ini, menunggu persetujuan cicilan motor hampir seperti menunggu matahari tenggelam di barat: sebuah hal yang pasti.
Tak perlu saling menyalahkan, karena kemacetan adalah sebuah mufakat tanpa rapat, sebuah kesepakatan tanpa perjanjian terikat.
Seorang yang naik motor, akan menjawab naik motor jauh lebih hemat dan lebih efisien dibandingkan harus berdesak-desakan naik angkutan umum.
Seorang yang naik mobil, akan menjawab naik mobil pribadi bakal lebih terasa nyaman dibandingkan harus berdesak-desakan naik angkutan umum meskipun ia akan merasa lebih lelah memegang kemudi kendaraan.
Seharusnya, bila semua naik kendaraan umum, maka pasti enggak ada macet. Begitu katanya.
Lalu para pemotor dan pengguna mobil kompak menjawab: Tanpa kami naik kendaraan umum, bus selalu penuh, kereta selalu padat di tiap jam sibuk. Kalau kami ikut naik, lalu di mana ruangan untuk kami?
Dengan tiap orang memegang prinsipnya dalam mengarungi jalanan Jakarta, maka semua berarti sudah siap dengan risikonya, termasuk macet.
Lagipula, macet di Jakarta saat ini tak lagi menimbulkan rasa kejutan yang besar.
Kejutan terbesar yang bisa dialami oleh seseorang saat mengarungi Jakarta justru ketika jalanan lengang di jam sibuk.
Bayangkan, tiba-tiba mengendarai motor atau mobil di Jl. Gatot Soebroto saat jam pulang kerja kemudian jalanan lengang. Rasa terkejut bakal menggema di hati sambil membayangkan dan menduga-duga yang sebenarnya tengah terjadi hingga ada kejadian luar biasa jalanan tanpa ada banyak kendaraan di dalamnya.
Bila melewati Jl. Gatot Soebroto sepulang kerja dan ternyata menemui macet, nyaris tak akan ada rasa terkejut di dalam dada. Semua terasa wajar dan normal adanya.
Lalu kenapa masih banyak yang marah-marah di media sosial dan update status ketika macet melanda?
Mayoritas hanya bentuk aktualisasi diri. Marah-marah di media sosial hanyalah ungkapan dan ekspresi tanpa kedalaman makna. Mayoritas menulis kata-kata marah, padahal dalam lubuk hati terdalam paham kemacetan di Jakarta adalah sebuah kelaziman.
Berdamai dengan KeadaanBila tak mampu lepas dari tekanan, berdamailah dengan keadaan.
Begitulah seharusnya warga bersikap. Macet akan jadi peristiwa yang sulit ditemukan jalan keluarnya, jadi mengapa tidak berdamai dengannya?
Dibandingkan berkeluh kesah berulang-ulang, lebih baik memanfaatkan potensi positif yang bisa dihasilkan dari kemacetan, seperti halnya menggagas hadirnya Festival Macet Jakarta.
Macet kok buat Festival?Loh, di luar negeri, yang namanya festival itu
yaa aneh-aneh. Ada festival lempar tomat, ada festival lomba lari gendong istri, bahkan ada festival lompat bayi. Dibandingkan festival-festival lainnya, maka Festival Macet Jakarta pun akan terlihat lazim dan wajar adanya.
Festival ini pun berpotensi diminati oleh masyarakat. Seperti halnya orang Indonesia yang punya cita-cita melihat salju, maka target pasar Festival Macet Jakarta tentunya adalah orang-orang yang tak pernah merasakan macet dalam hidupnya.
Dalam benak mereka, pastilah ada rasa penasaran seberapa hebat mereka menerima tantangan menaklukkan macet di Jakarta. Darah dalam diri mereka pasti bergejolak melihat tantangan besar di depan mata. Mereka akan tergoda untuk mencoba seberapa perkasa mereka di hadapan macet Jakarta.
Selain target wisatawan mancanegara, wisatawan domestik juga bisa disasar sebagai target, terutama mereka yang berdomisili di kota yang belum tersentuh macet seperti di ibu kota.
Di dalamnya pun bisa terdapat banyak acara mengingat durasi macet bisa berlangsung hingga 3-5 jam. Bayangan keuntungan besar pun bisa mulai tercetak jelas di hadapan.
Untuk tataran eksklusif, misalnya saja mengadakan konser terbatas di atas bus yang melaju di tengah macet. Segala macam tipe aliran musik dan penyanyi bisa hadir, mulai dari Via Vallen hingga Van Halen, dari Iwan Fals hingga Bruno Mars.
Para penonton tinggal memilih ingin naik bus dengan pilihan berbagai macam penyanyi yang ada. Nantinya bus melaju perlahan di tengah kemacetan diiringi lagu-lagu favorit dari penyanyi yang mereka idolakan. Dengan atmosfer kemacetan, akan ada keakraban antara idola dengan penggemarnya.
Selain mendengarkan konser langsung dengan penonton yang terbatas, Festival Macet Jakarta juga bisa menggelar acara nonton film di tengah kemacetan. Seperti halnya ide sebelumnya, nantinya para peserta festival tinggal memilih film yang disenangi dan naik ke atas bus yang disediakan. Dengan durasi macet sekitar 2-3 jam, dijamin durasi satu film akan bisa habis sebelum bus menyelesaikan perjalanan.
Pengunjung yang tak suka dengan alternatif musik dan film tersebut bisa merasakan sensasi berkendara dengan motor di tengah kemacetan Jakarta. Nantinya pengunjung bisa merasakan sensasi pegalnya kaki dan paha karena terus menahan beban motor di tengah laju pelan roda, wanginya asap knalpot dari bus kota, hingga emosi yang meledak-ledak saat harus bersenggolan dengan pengendara lainnya.
Dalam tataran level selanjutnya, peserta mungkin bisa merasakan sensasi baku hantam di antara sesama pengguna jalan.
Peserta festival yang menggunakan kendaraan bermotor juga bisa merasakan nikmatnya jajan di pinggir jalan meski hal itu aslinya melanggar aturan.
Sensasi sebagai peserta penumpang kendaraan umum juga bisa dijadikan jualan. Peserta festival bisa merasakan sensasi berdiri 2-3 jam di tengah kemacetan hingga sensasi menahan rasa buang air kecil/besar di tengah kepadatan. Mereka akan dituntut mencari solusi atas masalah-masalah tersebut yang terlihat sederhana namun sejatinya sebuah malapetaka.
Festival Macet Jakarta akhirnya mengandung dua gagasan, mewujudkan mimpi bagi mereka yang mendambakan kenyamanan di tengah kemacetan yaitu dengan menyaksikan penampilan langsung penyanyi idola ataupun menonton film favorit, dan juga memberikan tantangan bagi mereka yang merasa kuat seperti warga Jakarta dan sekitarnya dalam menaklukkan kemacetan. Pada akhirnya, semua akan menghasilkan uang besar yang berasal dari biaya pendaftaran peserta festival.
Selepas dari Festival Macet Jakarta, akan ada cerita-cerita yang bisa mereka bawa pulang. Sebuah hari indah yang bisa jadi kenangan.
Semua senang dan macet Jakarta kemudian tak lagi identik dengan keburukan.
-----
*Penulis adalah orang yang sudah 15 tahun mengelus dada di tengah kemacetan Jakarta.
(vws)