Jakarta, CNN Indonesia -- Tim pemantau penyidikan kasus penyiraman air keras ke Novel Baswedan bertemu dengan pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Dalam pertemuan itu disebutkan bahwa tim yang dibentuk oleh Komnas HAM tersebut akan bekerja dalam kurun waktu tiga bulan.
"Tadi dari informasi, mudah-mudahan tiga bulan ini bisa berikan rekomendasi yang baik, baik untuk KPK maupun Polri," kata Wakil Ketua KPK Laode M Syarif dalam jumpa pers di gedung KPK, Jakarta, Jumat (16/3).
Syarif mengatakan tim pemantau yang dibentuk Komnas HAM tersebut bertugas untuk membantu KPK maupun Polri agar penyerang Novel Baswedan bisa segera ditangkap dalam waktu yang tidak terlalu lama.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Pihaknya juga meugaskan tim yang telah dibentuk sebelumnya terkait kasus itu untuk berkoordinasi dengan tim pemantau kasus Novel bentukan Komnas HAM.
Syarif berharap tim ini bisa bisa mempercepat pengungkapan pelaku penyiraman air keras terhadap Novel.
"Di KPK sudah memiliki timnya, maka tim itu akan menjadi partner dengan tim yang dibentuk Komnas HAM," tuturnya.
Sementara itu, Ketua Tim Pemantau Kasus Novel Baswedan Sandrayati Moniaga berharap koordinasi ini dapat memaksimalkan pengungkapan fakta-fakta dan menggali informasi terkait hambatan dalam proses penyidikan kasus air keras Novel.
Menurut Sandra, yang juga menjabat Komisioner Komnas HAM ini, tim pemantau kasus Novel Baswedan juga akan berkoordinasi dengan Polda Metro Jaya. Kepolisian sendiri sudah menanganinya lebih dari 11 bulan tanpa hasil.
"Komnas HAM bekerja sama untuk mendukung gerakan antikorupsi. Kami mendukung kerja KPK dan Polri," tuturnya.
 Komisioner Komnas HAM Sandrayati Moniaga. ( Foto: CNN Indonesia/Safir Makki) |
Anggota Tim Pemantau Kasus Novel, Bivitri Susanti menambahkan koordinasi antara pihaknya dengan KPK dan Polri akan dilakukan secara intensif untuk membantu penyelesaian kasus yang hampir berumur satu tahun tersebut.
"Jadi itu saya kira, dan saya seneng sekali, karena tim pemantau koordinasi dengan sangat baik," kata dia.
Bivitri yang juga ahli hukum tata negara itu menyebut inti dari dibentuknya tim pemantau kasus Novel ini adalah berhasil membantu Polri mengungkap dalang atau minimal pelaku penyerangan terhadap salah satu penyidik senior KPK itu.
"Mudah-mudahan dengan langkah pertemuan ini, kerja di antara tiga lembaga negara ini, Komnas HAM, Polri dan Komnas HAM akan semakin baik," ujarnya.
Sambangi PolriSandrayati mengatakan tim juga akan bertemu dengan jajaran Polda Metro Jaya yang menangani kasus penyiraman air keras ke salah satu penyidik senior KPK itu.
Saat ini, kata Sandrayati, tim tengah berkoordinasi untuk menentukan waktu pertemuan tersebut.
"Dalam proses. Jadi informasi informal sudah mulai, tapi (pertemuan) formal akan kami segerakan," kata dia.
Sandrayati menjelaskan bahwa tim pemantau yang pihaknya bentuk dengan mengajak unsur masyarakat sipil berbeda dengan Tim Gabungan Pencari Fakta (TGPF) yang diusulkan dibentuk oleh Presiden Joko Widodo untuk ungkap pelaku penyerangan Novel.
Menurut dia, Komnas HAM tak biasa menggunakan istilah TGPF ketika ingin menyelidiki sebuah kasus yang terkait pelanggaran hak asasi manusia. Tim yang dibentuk Komnas HAM biasanya lahir dari sidang paripurna, sub komisi dan tim adhoc untuk penyelidikan perkara pelanggaran HAM berat.
"Kalau TGPF yang berkembang di kawan-kawan, di masyarakat adalah yang dibentuk presiden. Jadi pembentuknya berbeda," ujarnya.
Sementara itu, anggota tim pemantau kasus Novel Baswedan, M Choirul Anam mengatakan hasil kerja pihaknya akan keluar dalam bentuk rekomendasi atas penanganan kasus penyiraman air keras ke Novel yang telah bergulir hampir satu tahun ini.
Rekomendasi itu, lanjut Anam akan diberikan kepada para pihak yang berkepentingan, khususnya Polri yang menangani kasus penyerangan terhadap salah satu penyidik senior lembaga antirasuah tersebut.
Dia berharap hasil kerja pihaknya yang tertuang dalam rekomendasi itu dapat membantu Polri mengungkap pelaku penyiraman air keras pada 11 April 2017 lalu.
"Sehingga memang kasus ini bisa terungkap, terus proses hukumnya bisa baik, menemukan siapa pelakunya, bahkan siapa yang paling bertanggung jawab," kata dia.
(arh/ugo)