Jakarta, CNN Indonesia -- Wacana menghidupkan Garis Besar Haluan Negara (GBHN) dalam sistem ketatanegaraan Indonesia kembali muncul. Upaya tersebut dinilai memberi ruang baru bagi sistem yang pernah dijalankan orde baru.
Ketua Umum PDI Perjuangan Megawati Soekarnoputri mewacanakan GBHN sebagai pedoman penyelenggaran pemerintahan. Hal ini ia sampaikan ketika berorasi di kampus IPDN, Sumedang, Jawa Barat, pada awal Maret lalu.
Menurutnya, kebijakan yang diterapkan Presiden kedua RI Soeharto itu diperlukan untuk menyusun cetak biru atau blue print rencana pembangunan nasional ke depan.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Meski kewenangan MPR untuk menetapkan GBHN telah dicabut usai amendemen atau perubahan UUD 1945, Megawati menilai Indonesia tetap perlu memiliki cetak biru rencana pembangunan nasional yang terarah.
Wacana mengembalikan penerapan GBHN berarti MPR harus melakukan amendemen UUD 1945. GBHN sendiri di masa orde baru menjadi acuan utama bagi presiden untuk mewujudkan cita-cita bangsa dan negara.
Selama ini amendemen UUD 1945 telah dilaksanakan empat kali, yakni pada sidang tahunan MPR 1999, 2000, 2001, dan 2002. Pelaksanaan amendemen ini merupakan salah satu tuntutan reformasi 1998 yang menginginkan perubahan UUD 1945 karena saat itu kekuasaan tertinggi ada di MPR.
Salah satu hasil amendemen yakni MPR tak lagi menjadi lembaga tertinggi negara melainkan lembaga permusyawaratan rakyat yang berkedudukan sebagai lembaga negara.
Kemudian kewenangan MPR untuk memilih dan mengangkat presiden dan wakil presiden, termasuk menetapkan GBHN turut dibatalkan.
Sebagai gantinya, kewenangan MPR terbatas pada melantik dan memberhentikan presiden atau wapres dalam masa jabatannya serta mengubah dan menetapkan UUD.
Tak lama setelah itu muncul wacana amendemen kelima UUD 1945, termasuk di dalamnya upaya menghidupkan kembali GBHN dan mengembalikan MPR sebagai lembaga negara tertinggi.
 Ahli hukum tata negara Universitas Andalas Feri Amsari. (CNN Indonesia/M. Andika Putra) |
Berkaca dari hasil amendemen yang ada, wacana penerapan kembali GBHN dinilai tak lagi relevan di masa kini. Ahli hukum tata negara Universitas Andalas Feri Amsari khawatir penerapan GBHN justru menjadi upaya membangun 'ruang baru' seperti masa orba ketika MPR menjadi lembaga negara tertinggi.
Menurutnya, penerapan GBHN akan menimbulkan masalah karena sistem ketatanegaraan di Indonesia saat ini sudah tidak menempatkan MPR sebagai lembaga tertinggi negara.
"Itu di luar konsep reformasi konstitusi yang telah digagas pada 1999 sampai 2002," ujar Feri kepada
CNNIndonesia.com.
Terlebih, lanjut Feri, telah diatur dalam UU Nomor 25 Tahun 2004 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional (SPPN) sebagai pengganti GBHN yang dijabarkan dalam bentuk Rencana Pembangunan Jangka Panjang (RPJP) dengan skala waktu 20 tahun.
Oleh karena itu, ia menilai wacana tersebut perlu dikaji kembali apakah benar dilakukan untuk kepentingan ketatanegaraan atau semata langkah politik menjelang pemilihan legislatif dan pemilihan presiden pada 2019.
"Ini ruang politis, tawar menawar bisa saja, ini banyak kepentingan dan menyusupkan ruang-ruang baru dalam politik legislasi di Indonesia," katanya.
Peneliti di Pusat Studi Konstitusi Universitas Andalas ini menyatakan sejak lama pihaknya telah memberikan sejumlah pertimbangan kepada MPR maupun DPD terkait wacana penerapan kembali GBHN. Ia termasuk pihak yang tak setuju dengan wacana tersebut.
"Catatan sudah kami berikan ke MPR maupun DPD, termasuk soal GBHN yang bukan termasuk isu yang kami setujui, apalagi kalau dimasukan ke UUD," ucap Feri.
 Ketua MPR Zulkifli Hasan. (CNN Indonesia/Christie Stefanie) |
Di sisi lain, ahli hukum tata negara Universitas Padjajaran Asep Warlan Yusuf menyarankan agar pembahasan mengenai amendemen UUD 1945 dapat dibahas usai tahun politik.
Hal ini dilakukan demi menjaga suasana kondusif jelang pilkada, pileg, dan pilpres pada 2018 hingga 2019.
"Daripada ribut jelang pileg, pilpres, waktunya lebih baik tahun depan," kata Asep.
Jika dibahas tahun ini, ia khawatir akan banyak pihak berkepentingan yang memanfaatkan wacana amendemen ini. Menurutnya, akan lebih baik jika pembahasan diserahkan pada MPR di periode selanjutnya. Sementara untuk pasal-pasal yang akan diubah dapat disiapkan mulai sekarang.
"Jangan (MPR) yang sekarang karena tidak akan konsentrasi. Takutnya banyak sisipan, sebaiknya ditunda saja," ucapnya.
Senada dengan Feri, Asep tak menampik bahwa wacana mengembalikan GBHN melalui amendemen UUD 1945 kembali muncul jelang tahun politik. Padahal pembahasan soal wacana tersebut sebenarnya telah muncul sejak lama.
"Hanya saja selama ini terkatung-katung. Akhirnya sampai 2018 ini karena kebetulan tahun politik," katanya.
(pmg/gil)