Jakarta, CNN Indonesia -- Matahari, Senin (4/4), menyengat. Sekelompok
warga negara asing tampak berteduh di tenda darurat di trotoar di depan Rumah Detensi Imigrasi (Rudenim) DKI Jakarta di kawasan Kalideres, Jakarta Barat. Ada pula kelompok warga asing di tenda-tenda kecil di lapangan yang tak jauh dari lokasi itu.
Hamitullah (28), warga Afghanistan, duduk bersila di tenda kecil beratap terpal dan kardus. Ia datang ke Indonesia karena lari dari Taliban. Empat tahun lalu, dia bahkan sempat ditangkap oleh kelompok Taliban.
"Saya pernah ditangkap oleh Taliban dan hampir dibunuh, tapi saya kabur dari mereka. Mereka menempatkan saya di sebuah ruangan, dan saya meloloskan diri melalui jendela," kata Hamitullah saat ditemui CNNIndonesia.com di lokasi.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Selepas insiden itu, Hamitullah langsung memutuskan bahwa ia dan ibunya harus meninggalkan negaranya demi keselamatan. Ayahnya sudah meninggal. Sementara, saudara laki-laki dan perempuannya sudah menikah dan tinggal bersama keluarganya masing-masing.
Ketika itu, ia meminta tolong pada seseorang untuk membawa dirinya dan ibu keluar dari Afghanistan. Orang itu kemudian membawa mereka ke Indonesia.
Hamitullah mengaku tidak memilih negara tertentu yang menjadi tempat tujuannya. Dia, yang sedang diselimuti ketakutan, hanya ingin segera keluar Afghanistan.
"Saya hanya ingin berada di tempat yang aman, tidak peduli dimana," ujarnya.
 Warga Afghanistan Hamitullah (kiri) tinggal di gubuk di trotoar Kalideres, Rabu (4/4). ( Foto: CNN Indonesia/Adhi Wicaksono) |
Hamitullah dan ibunya tiba di Indonesia pada 2014. Saat itu ia ditempatkan di Bogor. Dua bulan yang lalu, mereka dipindahkan ke Kalideres, Jakarta Barat dan menetap di trotoar. Ia terpaksa tinggal di luar gedung karena Rudenim tak bisa lagi menampung.
Senada, Farid (26), warga Afghanistan, mengaku lari dari negaranya karena situasi yang tidak aman sekitar empat tahun lalu. Keluarganya memaksa dia untuk pergi meninggalkan Afghanistan menuju Indonesia. Kata orang tuanya, Indonesia adalah negara yang damai dan aman.
Namun, keluarganya hingga saat ini masih tinggal di Afghanistan. Farid, yang sudah empat bulan tinggal di Kalideres, hanya sesekali menghubungi keluarganya lewat telepon.
"Perang menyebabkan saya tidak bisa berada di sana. Saya datang ke sini sendiri. Ada keluarga saya di sana, ayah, ibu, satu adik perempuan dan satu adik laki-laki. Mereka juga tidak aman. Saya tidak tahu kenapa mereka tidak ikut saya ke Indonesia," katanya.
Farid mengaku hidup sebagai pengungsi sangat sulit. Terlebih, ayahnya tidak memiliki pekerjaan dan dirinya sebagai pengungsi pun tidak diperbolehkan bekerja.
"Saya dipaksa untuk bertahan hidup, mengandalkan bantuan dari [kantor] Imigrasi dan orang lokal. Hidup terlalu sulit," katanya.
Farid dipercaya menjadi koordinator pembagian logistik bagi pengungsi di lokasi itu. Menurutnya ada sekitar 300 orang pengungsi yang tinggal di pinggir jalan Kalideres. Sisanya, sekitar 30 orang tinggal di tenda-tenda di tanah lapang yang tak jauh dari Rudenim itu. Warga-warga asing itu berasal dari berbagai negara, diantaranya Afghanistan dan Sudan.
Keluhan Warga
Warga sekitar Rudenim mengeluhkan keberadaan warga asing yang tinggal memenuhi trotoar tersebut. Salah seorang warga, Yani merasa tatapan warga negara asing tersebut sedikit aneh.
Ia merasa tatapan tersebut terkesan kurang bersahabat. Belum lagi bau tak sedap yang ditimbulkan dari sampah yang ada.
 Ibrahim Ahmad Muhammad (23) asal Sudan mengaku telah tinggal di Indonesia selama 3 tahun dan selama tiga bulan tinggal terakhir tinggal di trotoar di Kalideres. ( Foto: CNN Indonesia/Adhi Wicaksono) |
Pengurus RW 011/RT 007 Kalideres, Mustopa (46), mengaku bahwa warga sering mengeluhkan keberadaan warga asing itu. Salah satunya saat ada pembagian makanan yang sering menimbulkan keributan kecil. Bahkan, terkadang ada perkelahian dalam perebutan makanan.
Selain itu, keberadaan mereka juga dinilai mengganggu kenyamanan dan kebersihan di lingkungan tersebut.
"Merusak pemandangan di trotoar, jalan raya jadi jelek. Belum lagi sampahnya," ujar Mustopa.
Di sisi lain, Mustopa dan warga sekitar sebenarnya iba melihat para pengungsi itu. Namun warga juga tidak bisa membantu banyak.
"Kalau mau bantu, kami juga enggak mampu," ucapnya.
Oleh sebab itu, Mustopa dan Yani sependapat agar Pemerintah segera memindahkan para pengungsi ke lokasi lain dan tidak memadati trotoar di sekitar Kalideres.
"Mereka juga manusia," kata Mustopa.
Kepala Bagian Humas dan Umum Direktorat Jenderal Imigrasi Kemenkumham Agung Sampurno menyebut bahwa para pengungsi itu memaksa untuk ditempatkan di Rudinem Kalideres. Masalahnya, Rudenim itu memiliki kapasitas maksimal 200 orang. Sementara, penghuninya mencapai 400 orang.
 Farid (26), asal Afghanistan, di tendanya di trotoar Kalideres, Jakarta, Rabu (4/4). ( Foto: CNN Indonesia/Adhi Wicaksono) |
Padahal, ada 13 rudenim lain yang tersebar di sejumlah daerah seperti di Medan, Pekanbaru, Semarang, Surabaya, dan Denpasar. Ia menduga ada motif tertentu dari para warga asing itu. Misalnya, mencari tempat gratis.
"Analisa kami, mereka ini punya motif lain. Kalau mau dibantu kan harusnya ikut saja, kenapa memaksakan diri di Kalideres?" ujarnya, tanpa menyebut dugaan motifnya.
Terlebih, status warga asing itu belum dapat dipastikan sebagai pengungsi. Mereka bisa juga nonpengungsi ataupun pencari suaka.
Sementara, Kepala Seksi Data dan Informasi Dinas Sosial DKI Jakarta Miftahul Huda mengaku belum mengetahui lebih lanjut persoalan warga asing yang telantar tersebut. Menurutnya, kewenangan soal itu ada di Ditjen Imigrasi dan badan pengungsi PBB, UNHCR.
"Belum ada laporan. Itu ranah Ditjen Imigrasi," kata Mifahul.
(arh/gil)