Jakarta, CNN Indonesia -- Ketua Dewan Perwakilan Rakyat (DPR)
Bambang Soesatyo mengklaim
Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) telah mengkaji sistem pemilihan kepala daerah (Pilkada) secara langsung yang dijalankan di Indonesia.
Pria yang akrab disapa Bamsoet itu mengatakan berdasarkan hasil kajian KPK indeks korupsi kepala daerah tak mungkin bisa menurun bila tak dilakukan evaluasi terhadap sistem yang dijalankan hari ini.
"Bagian pencegahan (KPK) rupanya sudah melakukan kajian dan ternyata indeks korupsi yang dilakukan kepala daerah tidak mungkin bisa menurun kalau sistem tidak dievaluasi," kata Bamsoet di sela-sela acara Orientasi Fungsionaris Tingkat Pusat Partai Golkar, Jakarta, Sabtu (7/4).
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Bamsoet merupakan salah satu pihak yang memunculkan wacana perubahan sistem Pilkada, dari pemilihan langsung menjadi pemilihan melalui Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD). Salah satu alasan Bamsoet mengusulkan perubahan sistem Pilkada tersebut adalah untuk menekan biaya politik yang tinggi.
Wakil Koordinator Bidang Pratama Partai Golkar itu menyebut, untuk mendapatkan tiket calon kepala daerah, para calon harus merogoh kocek Rp5 sampai Rp10 miliar. Bahkan, kata Bamsoet, ada yang mencapai ratusan miliar rupiah.
"Belum biaya kampanye, belum biaya saksi, belum biaya penyelenggara," tuturnya.
Bamsoet menuturkan pada pertemuan dengan Menteri Dalam Negeri Tjahjo Kumolo, anak buah Presiden Joko Widodo itu menyampaikan pemerintah harus mengeluarkan puluhan triliun rupiah untuk gelaran Pilkada secara langsung.
"Kalau dialihkan untuk kebutuhan masyarakat, infrastruktur, segala macam, mungkin jauh lebih bermanfaat," kata dia.
 Bambang Soesatyo. (CNN Indonesia/Adhi Wicaksono) |
Aspirasi MasyarakatBamsoet mengklaim mendapat aspirasi langsung dari masyarakat sebelum mengusulkan perubahan sistem pemilihan Pilkada agar mekanismenya dikembalikan ke DPRD.
Menurutnya, masyarakat di daerah berpendapat perbedaan sikap di Pilkada langsung memiliki daya rusak yang besar yang berujung pada perpecahan. Tak hanya itu, gelaran Pilkada langsung juga membuka celah korupsi bagi calon kepala daerah.
"Kami dapat laporan bahwa dampak yamg ditimbulkan Pilkada langsung ini sangat merusak, terutama moral masyarakat di daerah. Ancaman perpecahan," kata Bamsoet.
Bamsoet menyebut, selain adanya potensi perpecahan di masyarakat, calon kepala daerah terpilih juga berpotensi melakukan korupsi untuk mengembalikan biaya politik yang telah dikeluarkan selama proses pesta demokrasi lima tahunan berlangsung.
"Nah apa yang bisa kita harapkan dari seseorang kepala daerah yang keluarkan biaya puluhan miliar ketika dia menjabat? Pasti nggak ada yang dipikirkan buat rakyat, tapi kembalikan uang yang dikeluarkannya," ujarnya.
Meski demikian, politikus Partai Golkar itu mengatakan DPR tetap menyerahkan penilaian soal wacana evaluasi sistem Pilkada langsung kepada masyarakat. Menurut dia, bila masyarakat menghendaki perubahan karena melihat dampak yang merusak keutuhan, maka DPR siap melakukan evaluasi.
"Namun kami di DPR tentu akan kembalikan pilihan pada rakyat. Kalau rakyat menilai pilkada ini terlampau jauh dan daya rusak besar dan manfaat nggak banyak, maka tentu akan kita evaluasi," kata dia.
Proses pemilihan kepala daerah secara demokratis merupakan amanat dari UUD 1945 yang tercantum dalam pasal 18 ayat 4, yang merupakan hasil amendemen kedua.
(dal/kid)