Jakarta, CNN Indonesia -- Ratusan orang asing memadati sekitar Rumah Detensi Imigrasi (Rudenim), Kalideres, Jakarta Barat. Mereka berasal dari banyak negara konflik seperti Afghanistan, Sudan, Somalia dan negara-negara lain.
Bermodal tenda-tenda kecil dari terpal dan kardus, mereka tinggal di sana. Mereka terpaksa hidup di trotoar karena Rudenim Kalideres tak lagi menampung.
Berharap mendapat kehidupan baru yang layak usai kabur dari negera kelahiran, mereka kini hidup tanpa kepastian. Apalagi Indonesia bukan negara pemberi suaka atau penampung pengungsi. Alhasil, mereka tak dapat bekerja karena statusnya.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Kepala Rudenim Kalideres Morina Harahap menjelaskan, ratusan pengungsi yang memadati trotoar di sekitar Rudenim Kalideres sebenarnya pengungsi mandiri.
Pengungsi mandiri maksudnya, pengungsi yang membiayai dirinya sendiri dan tidak mengandalkan bantuan dari International Organization for Migration (IOM).
Menurut Morina, para pengungsi mandiri yang sudah berada di Indonesia selama jangka waktu tertentu mulai kehabisan biaya untuk hidup. Lantaran tidak punya hak untuk mencari uang dengan cara bekerja, maka mereka datang ke Rudenim dengan harapan bisa diregistrasi dan ditanggung kehidupan sehari-harinya oleh IOM.
Namun, saat ini penghuni di Rudenim Kalideres sudah melebihi kapasitas yang sesungguhnya. Atas dasar itu, pihak Rudenim harus memilih dengan ketat siapa yang dapat diregistrasi dari ratusan orang yang saat ini tinggal di trotoar Kalideres.
"Kami memilah karena banyak, mana yang disabilitas dan mana yang rentan. Kalau semuanya masuk, tempat kami juga tidak memadai. Mana yang urgent, itu yang segera kita koordinasikan [untuk dapat masuk ke Rudenim]," tutur Morina saat ditemui di Rudenim Kalideres pekan lalu (9/4).
Morina menjelaskan, kapasitas Rudenim Kalideres seharusnya hanya cukup untuk menampung sekitar 120 orang. Namun, saat ini penghuninya sudah mencapai 475 orang yang terdiri dari 206 pelanggar administrasi keimigasian dan 269 orang pengungsi dan pencari suaka.
"Sekarang dengan kondisi kami yang 400-an itu ya sudah berjejal-jejal lah. Sudah di tempat [yang] mestinya bukan kamar, ya mereka pun [tidur] di situ jadinya," kata Morina.
Morina mengatakan, mereka yang didahulukan untuk masuk ke Rudenim, yakni memiliki cacat, sedang hamil, atau anak-anak yang tidak bersama dengan orang tuanya.
Lebih jauh Morina menjelaskan, sejatinya Rudenim merupakan tempat penahanan sementara bagi orang asing pelaku pelanggaran keimigrasian, bukan untuk pengungsi, apalagi pencari suaka.
Pelanggaran keimigrasian yang dimaksud misalnya dokumen-dokumen yang tidak lengkap, atau ketika orang asing menetap di Indonesia lebih lama dari waktu yang tertera di visa.
Para pelaku pelanggaran keimigrasian akan ditahan sementara di Rudenim sampai mereka memiliki dana untuk pulang ke negara asalnya.
"Rumah Detensi Imigrasi itu sesuai dengan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2011 tentang Keimigrasian adalah menjalankan fungsi keimigrasian sebagai tempat penampungan sementara orang asing yang dikenakan tindakan administrasi keimigrasian, menunggu deportasi," ujar Morina.
Selain itu, berdasarkan Peraturan Presiden Nomor 125 tentang Penanganan Pengungsi dari Luar Negeri, Rudenim mendapatkan tugas tambahan sebagai pengawas bagi para pengungsi.
Pengungsi nonmandiri seharusnya ditampung oleh IOM di rumah-rumah penampungan yang disebut community house, sampai mereka diberangkatkan ke negara tujuan yang akan menerima mereka sebagai pengungsi.
Para pengungsi datang ke Indonesia untuk mencari status pengungsi dari Komisioner Tinggi PBB untuk Pengungsi (United Nations High Commissioner for Refugees/UNHCR). Setelah itu, mereka yang datang ke Indonesia biasanya akan diberangkatkan ke Australia sebagai negara penerima.
Namun, karena saat ini
community house yang dikelola IOM pun sudah penuh dan tidak dapat menampung lebih banyak orang lagi, maka para pengungsi terpaksa ditampung juga di Rudenim.
Jumlah imigran di Rumah Detensi Imigrasi (Rudenim) Kalideres diakui sudah melebihi kapasitas. (CNN Indonesia/Adhi Wicaksono). |
Perbedaan Pengungsi dan Pencari SuakaMorina menjelaskan tentang perbedaan antara pengungsi dan pencari suaka yang saat ini ditampung di Rudenim.
Menurutnya, pengungsi adalah orang-orang yang sudah resmi memiliki status yang diberikan oleh UNHCR melalui sebuah proses dan pertimbangan. Proses ini disebut prosedur penentuan status pengungsi (Refugee Status Determination/RSD).
"Pengungsi itu yang sudah mendapat status oleh UNHCR bahwa mereka adalah kriteria yang dinyatakan pengungsi, seperti negaranya yang dalam keadaan konflik, jiwanya terancam, bisa antarsuku maupun agama," tutur Morina.
Orang-orang yang sudah sah dinyatakan sebagai pengungsi akan mendapatkan kartu resmi dari UNHCR yang menyatakan mereka adalah pengungsi resmi.
Sedangkan, pencari suaka adalah orang-orang yang belum mendapatkan status resmi dari UNHCR tersebut.
"Dia [pencari suaka] datang ke Indonesia mencari perlindungan, tetapi belum bisa dinyatakan pengungsi. Itu kewenangan UNHCR menyatakan mereka pengungsi atau bisa
final reject," ujar Morina.
Para pencari suaka yang mengajukan permintaan status sebagai pengungsi tetapi ditolak oleh UNHCR akan dipulangkan kembali ke negara asalnya.
Mereka dapat ditolak sebagai pengungsi dengan berbagai alasan, misalnya latar belakang yang tidak jelas, atau jika ternyata mereka dulunya merupakan bagian dari militer negara yang sedang berkonflik.
Indonesia sebenarnya bukan merupakan negara yang menerima pengungsi. Hal ini tak lepas dari fakta, bahwa Indonesia tidak meratifikasi Konvensi 1951 tentang Pengungsi.
Namun demikian, Indonesia tetap dibanjiri para pencari suaka dan pengungsi yang pergi meninggalkan negara asal mereka karena berbagai latar, terutama konflik.
Sejak tahun 1979 Indonesia sudah menjadi tempat persinggahan bagi para pengungsi. Ketika perang Cina-Vietnam meletus dan ratusan ribu orang dari Vietnam tiba di Pulau Galang dengan menggunakan perahu. Mereka ditempatkan di sana sebelum dipindahkan atau dideportasi ke negara asalnya.
(osc/gil)