Kontroversi Pernikahan Dini dan Polemik Batas Usia Perkawinan

Dika Dania Kardi | CNN Indonesia
Selasa, 17 Apr 2018 11:41 WIB
Batas usia perkawinan menjadi polemik usai kontroversi sejoli siswa SMP di Bantaeng, Sulawesi Selatan berhasrat mengikat janji suci di hadapan penghulu.
Ilustrasi pernikahan dini. (StockSnap/Pixabay)
Jakarta, CNN Indonesia -- Batas usia perkawinan kembali menjadi polemik usai bergulir kontroversi sejoli siswa SMP di Bantaeng, Sulawesi Selatan berhasrat mengikat janji suci di hadapan penghulu.

Keinginan mereka sempat ditolak penghulu dari Kantor Urusan Agama (KUA) setempat, namun pernikahan dini itu akhirnya diizinkan berkat putusan dispensasi dari pengadilan agama.

Di kompleks DPR RI, semalam (16/4), Menteri Agama Lukman Hakim Saifuddin menyatakan pihaknya tak bisa mengingtervervensi putusan pengadilan agama.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

"Sebenarnya penghulu sudah menolak keinginan kedua remaja ini untuk melangsungkan pernikahan. Tapi karena ada putusan putusan pengadilan soal dispensasi itu maka tidak ada pilihan lain," kata Lukman.


Lukman mengatakan penolakan penghulu itu bukan tanpa dasar hukum. Pasal 7 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan telah mengatur secara tegas bahwa batas usia pernikahan laki-laki adalah 19 tahun, dan perempuan minimal 16 tahun. Itulah yang kemudian membuat permintaan pernikahan dini di Bantaeng itu ditolak penghulu.

Ketentuan batas usia pernikahan itu pernah digugat di peradilan konstitusi, Mahkamah Konstitusi. Pada pasal termaksud, MK pernah mengeluarkan putusan pada permohonan yang disampaikan 2014 silam yakni pada Putusan Nomor 30-74/PUU-XII/2014.

Permohonan uji materi itu diajukan Ketua Dewan Pengurus Yayasan Kesehatan Perempuan, Zumrotin dan lima perempuan lain serta dua lembaga yakni Yayasan Pemantau Hak Anak (YPHA) dan Koalisi Perempuan Indonesia.

"UU perkawinan jelas dan tegas menunjukkan kontradiksi dengan segala pengaturan yang ada dalam rangka melindungi hak-hak anak, khususnya anak-anak perempuan dalam konstitusi," demikian alasan para pemohon atas uji materi UU Perkawinan tersebut.

Dalam uji materi tersebut mereka meminta MK menaikkan batas minimal usia perkawinan karena tak sesuai zaman dan tak sesuai dengan batasan dewasa pada beberapa undang-undang terbaru. Beberapa di antaranya adalah UU 39/1999 tentang HAM, UU 2/2002 tentang perlindungan anak, UU 44/2004 tentang pornografi, dan UU 13/2003 tentang Ketenagakerjaan.

Pada putusan MK yang dibacakan kemudian pada 18 Juni 2015, permohonan uji materi itu ditolak. Namun ada perbedaan pendapat (dissenting opinion) di antara sembilan hakim konstitusi. Hakim yang memiliki pendapat berbeda itu adalah Maria Farida Indarti.

Polemik Batas Usia Perkawinan di Mata Konstitusi IndonesiaMaria Farida Indrati. (ANTARA FOTO/Widodo S. Jusuf)
Berbeda dengan delapan hakim konstitusi lainnya, hakim konstitusi Maria Farida Indrati justru berpendapat permohonan para pemohon itu diterima mahkamah.

Dikutip dari salinan Putusan Nomor 30-74/PUU-XII/2014 yang dimuat di situs MK, Maria merujuk pada Pasal 1 dan penjelasan umum UU Perkawinan. Di situ disebutkan bahwa UU tersebut menganut prinsip calon suami-isteri harus telah masak jiwa raganya untuk dapat melangsungkan perkawinan.

"Untuk itu harus dicegah adanya perkawinan antara seorang suami-isteri yang masih di bawah umur...," demikian pendapat Maria yang merujuk pada Penjelasan Umum UU Perkawinan Angka 4 huruf d.

Maria pun berpendapat perkawinan anak bisa menimbulkan risiko di antaranya yang berdampak fisik, intelektual, psikologis, dan emosional terhadap anak. Selain itu, lanjutnya, bagi perempuan yang kawin saat masih anak-anak juga menjadi mudah terekspos berbagai bentuk penindasan dan kekerasan baik seksual maupun nonseksual dalam perkawinan.

"Saya berpendapat bahwa terkait persoalan usia perkawinan sudah waktunya diperlukan perubahan hukum segera," ujar Maria yang saat itu pun menganjurkan MK mengeluarkan putusan sebagai bentuk hukum lewat sarana rekayasan sosial.


Dua tahun berselang, pasal terkait dalam UU Perkawinan kembali digugat di MK dan teregistrasi dengan nomor 22/PUU-XV/2017. Sidang perdana uji materi yang diajukan tiga perempuan korban perkawinan anak yakni Endang Wasrinah, Maryanto, dan Rasminah itu dilakukan pada 24 Mei 2017.

Kuasa hukum penggugat, Ajeng Gandini menyatakan batu uji yang digunakan dalam dua perkara sebelumnya Pasal 28B ayat 2 dan Pasal 28C ayat 1 UUD 1945. Sedangkan pada perkara yang ia bantu itu batu uji yang diajukan adalah Pasal 27 ayat 1 UUD 1945.

"Sampai sekarang belum ada putusannya. Kelanjutan sidangnya pun belum jelas, terakhir adalah perbaikan permohonan. Tahun lalu bahkan mereka [para penggugat] mengirim surat dan mendatangi MK untuk mempertanyakan kelanjutan uji materi yang kami layangkan," kata Ajeng saat dihubungi CNNIndonesia.com, Selasa (17/4).

Dalam uji materi yang mereka layangkan atas Pasal 7 ayat 1 UU Perkawinan adalah memohon menyamakan usia perkawinan antara laki-laki dan perempuan.

Kini, setelah gaduh pernikahan dini siswa SMP di Bantaeng, Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, Yohana Yembise, mengusulkan revisi UU nomor 1 tahun 1974 terutama yang mengatur batas usia perkawinan. Yohanna menyatakan batasan usia perkawinan akan ditingkatkan.

Itu telah disepakati antara lembaganya dan Kementerian Agama. Rencananya kenaikan batas usia pernikahan berada pada kisaran tiga sampai empat tahun. Hal itu, kata dia, diharapkan bisa membatasi terjadinya pernikahan dini.

"Itu lebih cenderung sekitar 20-an ke atas (kenaikannya). 20 tahun untuk anak perempuan, 22 tahun untuk anak laki-laki, kemungkinan seperti itu," kata Yohanna di kompleks parlemen, Jakarta, Senin (16/4). (gil)
LAINNYA DI DETIKNETWORK
LIVE REPORT
TERPOPULER