Jakarta, CNN Indonesia --
Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Indonesia menyebut pelaku terbanyak kasus kekerasan terhadap jurnalis pada 2018 adalah kepolisian. Sumber ancaman terhadap kebebasan pers lainnya adalah intimidasi ormas dan pemilik media.
"Polisi kan merupakan aparat penegak hukum institusi yg diberi mandat untuk melindungi publik, bukan malah menjadi pelaku kekerasan yg melanggar UU. Melakukan kekerasan terhadap wartawan itu jelas pelanggaran nyata terhadap UU pers," kata Ketua AJI Abdul Manan, di Cikini, Jakarta Pusat, Kamis (3/5).
Hal ini dikatakannya saat memaparkan tingkat kekerasan terhadap jurnalis yang dikumpulkan oleh Bidang Advokasi AJI dari Mei 2017 hingga Mei 2018, dalam rangka Hari Kebebasan Pers Sedunia.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Jumlah totalnya mencapai 75 kasus kekerasan. Sebanyak 24 kasus diantaranya berupa kekerasan fisik. Sementara sisanya merupakan kasus pengusiran. Kepolisian, lanjutnya, berkontribusi dalam 24 kasus. Pejabat pemerintah atau eksekutif menyusul dengan 16 kasus.
"Kekerasan beragam; mulai dari penyeretan, pemukulan, baik dengan tangan maupun dengan benda tajam atau tumpul, hingga pengeroyokan oleh oknum. Kasus kekerasan kedua terbanyak adalah pengusiran. Pengusiran dilakukan baik oleh aparatur negara ataupun anggota
security atau satpam," tuturnya.
Kasus-kasus kekerasan ini terjadi di 25 provinsi. Nusa Tenggara Timur dan Sulawesi Selatan menyumbang lima kasus, Papua tercatat memiliki empat kasus.
"Salah satu kasus yang menjadi sorotan termasuk kekerasan yang dilakukan oleh seorang anggota Polisi di Timika, Papua, kepada wartawan. Kemudian ada ancaman juga dari polisi ke wartawan lainnya di Timika," terang Abdul.
Abdul menyebut tingginya kekerasan yang dilakukan pihak kepolisian seharusnya dijadikan introspeksi diri. Pasalnya, merupakan tugas wartawan untuk mencari kebenaran. Hal tersebut diatur oleh UU Pers Nomor 40 Tahun 1999.
Ia berharap agar Polri bisa menyisipkan materi atau memberikan informasi kepada personelnya bahwa kekerasan kepada wartawan adalah pelanggaran terhadap undang-undang.
Pihaknya juga mendorong agar kasus kekerasan kepada wartawan ini harus diusut tuntas. Pasalnya, kekerasan kepada wartawan akan membuat citra polisi buruk di mata masyarakat.
Intimidasi OrmasAbdul juga menyebut tindak kekerasan terhadap jurnalis bisa berupa intimidasi berupa mobilisasi massa. Ia mencontohkannya dengan kasus penegrahan massa Front Pembela Islam (FPI) ke kantor
Tempo.
Penyebabnya, gambar karikatur yang dianggap menyerupai pimpinan FPI Rizieq Shihab. Menurut Abdul, hal ini akan memengaruhi kebebasan pers.
"Demo ini akan membuat
killing effect dan akhirnya wartawan akan takut membuat berita yang mengkritisi soal intoleransi. Mereka [FPI] melakukan demonstrasi dengan harapan agar wartawan tidak menulis berita itu lagi," ujar Abdul.
 Massa ormas Front Pembela Indonesia (FPI) melakukan aksi demo di kantor majalah Tempo di Palmerah Barat, Jakarta 16 Maret 2018. ( Foto: CNN Indonesia/Hesti Rika) |
Selain ancaman fisik, Abdul juga mengungkap adanya ancaman dari regulasi terhadap kebebasan pers. Diantaranya, rancangan Kitab Undang Undang Hukum Pidana (KUHP) dan UU Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE).
"Belum lagi pemilik media yang terjun ke politik sehingga mengekang independensi media," ujar Abdul.
Indonesia saat ini berada di peringkat 128 di Indeks Kemerdekaan Pers Dunia versi
Reporters Without Borders (RSF) 2018. Peringkat Indonesia tak mengalami peningkatan dibanding tahun sebelumnya. Padahal, Indonesia sempat menembus peringkat 101 pada tahun 2008.
(arh/gil)