Jakarta, CNN Indonesia -- Empat perwira TNI AU mangkir dalam agenda pemeriksaan saksi terkait penyidikan dugaan korupsi pembelian
Helikopter Agusta Westland (AW) 101, Senin (7/5).
"Hari ini diagendakan empat orang perwira TNI AU di Kantor Polisi Militer (POM) TNI Cilangkap, tidak hadir dan belum ada informasi alasan ketidakhadiran," kata Juru Bicara Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Febri Diansyah melalui pesan singkat.
Dalam proses penyidikan ini, KPK akan melakukan koordinasi dengan POM TNI untuk penanganan perkara. Penyidik KPK dan POM TNI belum menerima perkembangan penyelesaian audit keuangan negara oleh Badan Pemeriksa Keuangan (BPK).
"Kami harap audit BPK, bisa segera selesai sehingga penanganan perkara ini dapat ke tahap selanjutnya. Selain itu LKPP (Lembaga Kebijakan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah) juga akan dilibatkan sebagai ahli terkait dengan proses pengadaan," kata Febri.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
KPK keberatan dengan hasil praperadilan sebelumnya yang diajukan oleh Direktur PT Diratama Jaya Mandiri Irfan Kurnia Saleh pada November tahun lalu. Irfan menggugat TNI AU dan Menteri Keuangan agar mengabulkan sejumlah permohonan dan membayar ganti rugi.
Gugatan itu tercatat dalam perkara No. 103/Pdt.G/2018/PN.Jkt.Tim. Dia menggugat TNI AU agar mengabulkan permohonan dan ganti rugi antara lain pembayaran tahap III yang tidak dibayarkan sebesar Rp73,8 miliar, sebagian pembayaran tahap IV senilai Rp 40,46 miliar, dan pengembalian jaminan pelaksanaan senilai Rp36,94 miliar.
Pihak KPK akhirnya mengajukan diri sebagai pihak ketiga yang berkepentingan karena saat ini KPK sedang menangani penyidikan korupsi tersebut.
Febri berharap komitmen bersama antara KPK dan Panglima TNI Marsekal Hadi Tjahjanto beserta jajarannya tetap kuat dalam rangka pemberantasan korupsi, termasuk penyelesaian kasus ini.
"Mengingat penyidikan kasus sudah dilakukan sejak 2017, penanganan perkara lintas yurisdiksi institusi sipil dan militer ini memang membutuhkan komitmen yang sama-sama kuat, baik KPK, Panglima TNI dan BPK," kata Febri.
KPK telah menetapkan Irfan sebagai tersangka. PT Diratama Jaya Mandiri diduga telah melakukan kontrak langsung dengan produsen heli AW-101 senilai Rp 514 miliar. Namun pada Februari 2016, setelah melakukan kontrak dengan TNI AU, PT DJM menaikkan harga jualnya menjadi Rp 738 miliar.
Selain itu, Wakil Gubernur Akademi Angkatan Udara Marsekal Pertama Fachri Adamy ditetapkan sebagai tersangka. Dia merupakan pejabat pembuat komitmen atau Kepala Staf Pengadaan TNI AU 2016-2017.
Tersangka lainnya ialah Letnan Kolonel TNI AU (Adm) berinisial WW selaku Pejabat Pemegang Kas, Pembantu Letnan Dua berinsial SS selaku staf Pekas, Kolonel FTS selaku Kepala Unit Layanan Pengadaan dan Marsekal Muda TNI SB selaku Asisten Perencana Kepala Staf Angkatan Udara.
(pmg)