ANALISIS

Rekayasa Metodologi di Balik Anomali Survei Pilpres 2019

Priska Sari Pratiwi | CNN Indonesia
Selasa, 08 Mei 2018 18:25 WIB
Salah satu hal yang bisa membuat hasil survei berbeda adalah kemungkinan rekayasa metodologi sehingga pengambilan sampel menjadi tidak representatif.
Salah satu hal yang bisa membuat hasil survei berbeda adalah kemungkinan rekayasa metodologi sehingga pengambilan sampel menjadi tidak representatif. (ANTARA FOTO/Reno Esnir)
Jakarta, CNN Indonesia -- Sejumlah lembaga survei berlomba-lomba mengeluarkan prediksi menjelang pemilihan presiden 2019. Dari beberapa lembaga survei yang merilis hasilnya belakangan ini, survei dari Indonesia Network Election Survey (INES) paling menyedot perhatian.

Survei INES menjadi perhatian karena hasilnya bertolak belakang dengan sejumlah lembaga survei lain. 

Direktur Eksekutif Median Rico Marbun mengatakan hasil survei mestinya tak berbeda jauh jika dilakukan dengan metode yang tepat.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

"Kalau ada perbedaan, itu artinya salah satu ada yang salah," ujar Rico kepada CNNIndonesia.com.

Perbedaan hasil survei INES dengan sejumlah lembaga survei lain memang mencolok. INES dalam hasil survei yang dirilis akhir pekan lalu menyebut Prabowo Subianto unggul dari Joko Widodo dengan perolehan suara 50,2 persen berbanding 27,7 persen. 

Survei itu dilakukan terhadap 2.180 responden di 408 kabupaten dan kota dengan tingkat kepercayaan 95 persen. 


Sebagian besar responden yang disurvei INES juga tercatat tidak puas dengan kinerja mantan wali kota Solo itu di bidang ekonomi. Mayoritas merasa kecewa karena Jokowi tak mampu menurunkan harga beras, lapangan kerja berkurang, dan khawatir utang negara semakin menggunung. 

Di sisi lain, survei Media Survei Nasional (Median) pada April lalu mencatat Jokowi masih menjadi calon presiden terkuat dengan elektabilitas 36,2 persen, diikuti Prabowo dengan elektabilitas 20,4 persen.

Survei Indikator Politik Indonesia yang dirilis 3 Mei lalu juga mencatat Jokowi sebagai yang terkuat dengan suara 60,6 persen dan Prabowo 29 persen. Angka itu didapat dalam skenario head to head atau hanya dua calon yang disodorkan pada responden. 

Berkaca pada hasil survei pilpres 2014, menurut Rico, saat itu juga terdapat banyak perbedaan antarlembaga survei. Bahkan perbedaan itu terlihat hingga proses hitung cepat atau quick count tak lama setelah gelaran pilpres. Namun sejumlah lembaga survei perlahan menghilang seiring berakhirnya gelaran pilpres.

"Setelah pilpres itu beberapa lembaga survei akhirnya hilang karena tidak menampilkan hasil akurat dan tidak dipercaya masyarakat," ucap Rico.
Rekayasa Metodologi di Balik Anomali Survei Pilpres 2019Presiden Joko Widodo dan Ketum Gerindra Prabowo Subianto. (CNN Indonesia/Christie Stefanie)


Rico enggan mengomentari lebih jauh terkait perbedaan hasil survei tersebut. Dia hanya menyebut bahwa lembaga survei, pada prinsipnya adalah media untuk menunjukkan pendapat dan persepsi masyarakat.

"Jadi kita bukan melayani klien, tapi satu hal penting bahwa di negara demokrasi persepsi masyarakat itu penting sehingga lembaga survei tidak boleh main-main," katanya.

Menurutnya, kredibilitas lembaga survei dapat dilihat dari rekam jejak selama melakukan survei. Keberadaan web dari lembaga survei terkait juga dapat menjadi indikator bahwa lembaga survei itu dapat dipercaya publik.

"Sekarang hanya satu klik bisa lihat jejak digitalnya, misalnya sudah berapa lama lembaga survei ini ada, bagaimana hasil surveinya. Itu menunjukkan kredibilitas," tuturnya.

Sementara itu pengamat politik Universitas Padjajaran Firman Manan mengatakan untuk memastikan kebenaran hasil lembaga survei, masyarakat dapat mengecek melalui metodologi yang dilakukan.

Salah satu aspek metodologi yang penting diperiksa menurut Firman adalah pengambilan sampel responden yang harus representatif dan tidak memihak pada kriteria tertentu.

"Survei itu, kan, sebenarnya alat ilmiah, maka ada ukuran ilmiah pula. Salah satu cara cek metodologi, bagaimana pengambilan sampelnya," katanya.
Rekayasa Metodologi di Balik Anomali Survei Pilpres 2019Presiden Jokowi dengan motor chopper-nya. (Detikcom/Ray Jordan)


Selain sampel, lembaga survei harus menyusun pertanyaan yang komprehensif untuk kemudian diolah menjadi data. "Itu menjadi kunci. Kalau dilakukan dengan baik hasilnya harusnya valid dan hasilnya tidak terlalu jauh kalau dilakukan dalam rentang waktu yang sama," tuturnya.

Meski demikian, ia tak menampik bahwa hasil lembaga survei satu dengan yang lain dapat berbeda tergantung pada situasi saat survei. Apalagi, kata dia, preferensi pemilih di Indonesia adalah swing voters atau dapat berubah meski telah menentukan pilihan.

Perbedaan hasil survei juga dapat muncul karena ada lembaga survei yang sekaligus menjadi konsultan bagi calon tertentu.

"Ketika sebagai konsultan, survei kemudian tidak dibuat dengan metodologi yang benar tapi didorong menghasilkan hasil tertentu untuk membentuk opini publik. Ini berarti persoalan manipulasi," ucapnya.

Pernyataan Firman ini senada dengan Ketua Gerindra Prabowo Subianto beberapa waktu lalu. Saat berziarah ke makam Presiden pertama RI Sukarno di Blitar, Jawa Timur, Prabowo menyebut hasil survei soal elektabilitas calon presiden dipengaruhi oleh pihak yang membiayai.

Atas keyakinan tersebut Prabowo tak ambil pusing elektabilitasnya menunjukkan tren negatif berdasarkan hasil survei dari sejumlah lembaga. 
Rekayasa Metodologi di Balik Anomali Survei Pilpres 2019Ketua Umum Gerindra Prabowo Subianto.


Firman sendiri tak menyebutkan lembaga survei partisan yang hasilnya bisa disesuaikan dengan kepentingan majikannya. Tetapi Firman menekankan pentingnya mengetahui kredibilitas lembaga survei.

Kredibilitas dalam dinilai dengan cara melacak rekam jejak sebuah lembaga selama melakukan survei.

"Cari yang punya track record baik, cari informasi lain, diskusi dengan banyak orang. Kita harus hati-hati, jangan tiba-tiba muncul lembaga survei yang kita tidak tahu apa," ucapnya.

Firman juga mengingatkan masyarakat agar tak langsung mempercayai hasil yang ditampilkan lembaga survei.

Menurut Firman hasil survei bukan satu-satunya patokan untuk menentukan hasil pilpres mendatang. Bahkan di beberapa negara, survei sudah tidak dilihat lagi sebagai pertimbangan untuk memilih calon yang diinginkan.

"Hasil survei itu bukan ramalan, itu hanya salah satu cara mengetahui preferensi publik," tutur Firman.
(wis/gil)
LAINNYA DI DETIKNETWORK
LIVE REPORT
TERPOPULER