Fahri Hamzah Ramal Jokowi Gagal Jadi Capres 2019

Ihsan Dalimunthe | CNN Indonesia
Selasa, 08 Mei 2018 16:29 WIB
Analisa Fahri Hamzah soal Jokowi yang terancam tidak bisa mendapatkan tiket capres di pilpres 2019 bisa saja terjadi jika Jokowi dan PDIP salah ambil langkah.
Fahri Hamzah ungkap alasan Jokowi tidak bisa menjadi capres di pilpres 2019. (CNN Indonesia/Abi Sarwanto)
Jakarta, CNN Indonesia -- Wakil Ketua DPR Fahri Hamzah meramal kegagalan calon petahana Joko Widodo untuk kembali menjadi presiden di pemilihan presiden (pilpres) 2019 mendatang.

Lewan akun pribadi twitter miliknya, Fahri mengatakan alasan pertama Jokowi gagal menjadi capres karena kebanyakan janji dan utang yang tak ditepati.

"Alasan pertama karena kebanyakan #Janji2Jokowi yang tak ditepati,"kicau @Fahrihamzah, Selasa (8/5).

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT



Masalah utang di era Jokowi telah menuai polemik. Mantan Menteri Koordinator Perekonomian Rizal Ramli bahkan menantang debat Menteri Keuangan Sri Mulyani untuk blakblakan membahas tumpukan utang yang melilit negara.



Alasan kedua Jokowi akan gagal menjadi capres  menurut Fahri karena ulah relawan Jokowi yang bikin masalah. Sejak awal, kata Fahri, relawan Jokowi telah membuat elite parpol pendukung marah, termasuk Ketua Umum PDIP Megawati Soekarnoputri.

Hal ini karena setelah terpilih, tiba-tiba relawan Jokowi malah nampak dominan. Pada saat kabinet terbentuk misalnya, relawan bersama Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dianggap mencoret sekian nama usulan parpol. Alasannya tidak jelas.

Jokowi diprediksi gagal menjadi capres di pilpres 2019. (CNN Indonesia/Christie Stefanie)


Saat itu, imbuh Fahri, relawan juga menghembuskan isu menolak bagi-bagi kekuasaan seolah untuk memotong jatah partai politik yang semakin banyak mendukung pemerintahan. Padahal sebaliknya relawan nampak semakin banyak dapat jatah.

"Publik mensinyalir #RelawanJokowi telah membanjiri jabatan direksi dan komisaris BUMN yang pada akhirnya membuat organisasi relawan memperoleh pembiayaan yang relatif besar. Mereka nampak lebih gagah bahkan membuat parpol baru," cuit Fahri.



Fahri menuturkan, saat ini dalam hal memilih wakil pun relawan masih ingin dominan. Bahkan belakangan ini bermunculan calon yang bukan orang parpol didorong oleh para relawan Jokowi. Partai relawan juga nampak merasa lebih dekat.

Teman-teman relawan Jokowi, kata Fahri, sering lupa bahwa meskipun relawan memiliki posisi penting dalam pemenangan, tetapi relawan tidak punya manfaat dalam pencalonan. Tiket 20 persen calon presiden untuk memenuhi presidensial treshold hanya bisa diberikan oleh parpol yang telah punya suara.

"Orang yang bergaul dengan parpol akan tahu bagaimana sebelnya mereka melihat tingkah relawan. Maka, inilah alasan kedua incumbent bisa gagal dicalonkan kembali karena tiket di tangan parpol tidak diberikan. Untuk itu waspadalah. #GagalNyapres," kicau Fahri.

Relawan Jokowi dinilai akan semakin mendominasi. (ANTARA FOTO/Prasetyo Utomo)

Adapun alasan ketiga adalah soal konflik parpol yang mendukung Jokowi. Sebab, kata Fahri, tidak bisa dihindari fakta bahwa di atas kertas koalisi parpol pendukung Jokowi paling banyak.

"Parpol yang masuk kabinet ada 7 dan tidak termasuk partai relawan," kata Fahri.

Menurut Fahri, parpol pendukung jokowi ini sekarang sadar bahwa jika mau punya nama maka harus menjual yang punya nama. Untuk saat ini, petahana adalah "merek dagang" yang paling terkenal bagi parpol sehingga apabila nama itu didekatkan maka parpol akan mendapatkan efek popularitas.

"Saking berebut mendapatkan nama maka berebut pula menjadi partainya presiden. Inilah yang kemudian menjadi awal konflik yang semakin tajam. Konflik ini bisa memiliki efek negatif bagi presiden sehingga ditinggal dan lari ke lain hati. #JokowiGagalNyapres," kata Fahri.


Konflik ini, diklaim Fahri, sekarang sedang ada di belakang layar dan sesekali muncul tanpa terasa. Terutama di antara partai besar.

"Sementara 3 partai yang paling agresif memanfaatkan presiden adalah partai kuning, partai biru dan merah baru....ada apa dengan partai merah? #JokowiGagalNyapres," ungkap Fahri.

Fahri lantas memberikan contoh paling nyata gagalnya petahana untuk kembali mendapatkan tiket capres walau sudah didukung banyak partai.

"Saya mau ambil contoh, Tengku Erry incumbent di Sumatera Utara. Awalnya dia paling banyak ke dukung tapi akhirnya gagal tidak dapat tiket," kicau Fahri.


Menurut Fahri, banyak pihak yang lupa, sekuat apapun posisi presiden, dia tidak punya kuasa membubuhkan tanda tangan dalam pencalonan. Oleh sebab itu, apabila parpol salah paham maka semua bisa beralih kepada lain hati.

"Jadi, kalau presiden menghadapi sengketa antara parpol bagaimana ia menghadapinya? Sementara itu, jangan lupa bahwa ada banyak kandidat yang juga Perlu pendukung. Partai memerlukan kepastian dari presiden soal seberapa luas permainan ini? Semua belum jelas," kata Fahri.


Untuk alasan keempat, Fahri pun menjelaskan terlalu banyak calon wakil presiden (cawapres) yang melamar akan menyebabkan Jokowi gagal kembali menjadi capres. Alasan ini, kata Fahri, menjadi paling pelik di hadapan jokowi yang dapat membuatnya tak dapat tiket.

Dinamika memilih cawapres akan membicarakan kepentingan internal partai sampai soal elektabilitas. Kali ini, imbuh Fahri, dengan elektabilitas yang rendah, Jokowi akan semakin seleksi memilih cawapres.

"Tetapi gara-gara itu malah dia enggak dapat tiket," kicau Fahri.

Menurut Fahri, banyaknya cawapres Jokowi lebih merupakan gambaran konflik dari sekedar aspirasi. Hal ini juga menggambarkan bahwa di sekitar lingkaran dalam presiden tidak tersedia mekanisme untuk menentukan siapa yang akan menjadi orang nomor dua di Republik ini.



Menanggapi hal itu, pengamat politik asal Universitas Negeri Jakarta (UNJ) Ubaidillah Badrun menganggap argumentasi Fahri tersebut bisa dimaknai sebagai peringatan kuat.

"Perspektif Fahri itu semacam warning. Tidak cuma buat Jokowi tapi juga PDIP. Salah pililh cawapres bisa berisiko," kata Ubaidillah kepada CNNIndonesia.com, Selasa (8/5).

Namun jika analisa Fahri tersebut dipandang menggunakan perspektif Jokowi, kata Ubaidillah, maka dia akan santai menanggapi argumentasi Fahri dengan pengalamannya di pilpres 2014 lalu. Saat itu, Jokowi bisa diputuskan oleh PDIP di menit-menit terakhir.


Hemat Ubaidillah, prediksi Fahri itu lebih tepat ke PDIP. Pasalnya dia memprediksi PDIP akan kesulitan jika salah memilih koalisi dan cawapres di Pilpres selanjutnya yakni di tahun 2024.

"Jika cawapres diberikan pada partai lain, PDIP sama saja memberikan karpet merah bagi capres di 2024. Di sini yang kesulitan PDIP, bukan Jokowi," tambahnya.

Terkait analisa Fahri soal relawan, Ubadillah mengatakan sifat relawan itu tidak permanen. Relawan bisa silih berganti tergantung dengan kepentingan mereka di dalam politik.

"Jadi tidak perlu pusing, karena relawan mudah saja dibuat lagi," ujarnya.


Ubadillah menganggap peringatan Fahri bisa jadi pelajaran bagi Jokowi untuk mengantisipasi ancaman konflik di tengah pusaran koalisi terkait kepentingan cawapres. Menurut dia, Jokowi harus melakukan lobi-lobi tingkat tinggi untuk mempertahankan koalisi ataupun parpol yang sudah menyatakan mendukung. Pasalnya membangun koalisi tidak lepas dari pola transaksional.

Misalnya soal ancaman yang dilayangkan Ketua Umum Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) Muhaimin Iskandar alias Cak Imin. Menurut Ubaidillah, jika lobi tingkat tinggi dan pola transaksional dijalankan, maka Cak Imin dan PKB tidak akan pindah haluan.

"Jadi harus ada deal khusus dengan mitra koalisi. Perlu lobi-lobi tingkat tinggi agar mereka yang 'memaksa' dapat kursi cawapres bisa bertahan," tuturnya.


Ubaidillah mengakui kemungkinan Jokowi tidak mendapat tiket capres bisa terjadi. Namun, sepanjang Jokowi bisa mengunci PDIP dan Golkar, yang notabene mengantongi suara terbesar di koalisi, maka tiket untuk Jokowi aman.

"Jadi sekarang justru Golkar kuncinya tiket Jokowi, selain PDIP tentunya. Kalaupun misalnya PDIP tidak dukung Jokowi malah ada Golkar. Bisa-bisa PDIP yang ditinggal karena salah ambil keputusan. Golkar akan buat koalisi baru mengusung Jokowi," kata Ubadillah. (gil)
LAINNYA DI DETIKNETWORK
LIVE REPORT
TERPOPULER