Jakarta, CNN Indonesia -- Institusi Kepolisian Negara Republik Indonesia (
Polri) disibukkan tindak pidana terorisme pada pekan kedua di Mei 2018. Tercatat, enam personel korps baju cokelat itu gugur dalam serangkaian peristiwa yang terjadi sejak tanggal 7 hingga 10 Mei kemarin.
Rangkaian peristiwa melawan terorisme itu bermula dari kerusuhan dan penyanderaan yang terjadi di blok C, rumah tahanan Markas Korps Brigade Mobil (
Mako Brimob) Polri, Kelapa Dua, Depok, Jawa Barat pada Selasa (7/5) malam.
Sebanyak lima anggota Polri tewas setelah disiksa dan diperlakukan secara kejam oleh sejumlah napi dan tahanan kasus terorisme yang menyandera mereka. Kelima anggota Polri yang tewas itu adalah Inspektur Satu Yudi Rospuji Siswanto, Brigadir Fandy Setyo Nugroho, Brigadir Satu Syukron Fadhli, Brigadir Satu Wahyu Catur Pamungkas, Ajun Inspektur Dua Denny Setiadi.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Serangan terhadap personel Polri kemudian berlanjut pada Kamis (10/5) malam atau setelah drama di rumah tahanan Mako Brimob berakhir dan mayoritas narapidana kasus terorisme dipindahkan ke Lembaga Pemasyarakatan Nusakambangan, Cilacap Jawa Tengah pada pagi hari.
Adalah Brigadir Kepala Marhum Prencje yang menjadi korban kali ini yang tewas setelah ditusuk orang tak dikenal di sekitar Mako Brimob.
Pengamat terorisme, Hasibullah Satrawi, mengatakan rangkaian serangan teroris yang terjadi pada pekan ini merupakan bukti bahwa ideologi ekstrem--yang dipahami kalangan yang telah berbaiat pada ISIS--tidak padam, meskipun ISIS mulai mengalami kehancuran secara organisasi saat ini.
Menurutnya, para pengikut dan simpatisan ISIS masih terus berupaya melakukan berbagai aksi secara spontan dan sporadis demi menunjukkan perlawanan.
"Kekalahan mereka (ISIS) secara organisasi dan fisik tidak berarti kekalahan secara ideologi. Ketika jaringan kalah tapi ideologi tidak padam, maka mereka akan lakukan serangan sporadis dengan cara apapun dan di manapun," kata Hasibullah saat berbincang dengan CNNIndonesia.com, Sabtu (12/5).
Dia pun menilai, insiden terorisme dalam pekan ini kian menguatkan identitas terorisme sebagai
extraordinary crime atau kejahatan luar biasa. Menurutnya, hal tersebut dapat dilihat dari lokasi yang menjadi 'medan perang', yakni markas kepolisian.
Menurutnya, aksi yang dilakukan dengan menciptakan kerusuhan, menyandera, dan menyerang polisi seolah ingin menunjukkan bahwa kelompok teroris tidak pernah mati dan terus menyebar ancaman di setiap kesempatan yang ada.
"Pesannya, kelompok ini betul-betul pelakunya orang yang melakukan kejahatan luar biasa. Kelompok ini tidak pernah mati, senantiasa menjadi ancaman di mana kesempatan dan peluang itu ada," tutur Hasibullah.
Dia pun menyampaikan, sejumlah kelompok teror di luar ISIS masih eksis, seperti Taliban di Afghanistan serta beberapa kelompok lainnya di Yaman dan sejumlah negara di kawasan Timur Tengah.
Napi kasus terorisme keluar dari rutan Brimob saat menyerahkan diri di Rutan Mako Brimob, Kelapa Dua. (ANTARA FOTO/Humas Mabes Polri). |
Namun, menurut Hasibullah, seluruh sel atau jaringan teror yang berada di Indonesia saat ini berafiliasi dengan ISIS.
"Sel aktif di sini di bawah ISIS, sampai sekarang tidak tahu ke depan," tuturnya.
Kemunduran ISISSenada, pakar terorisme dari Pusat Kajian Radikalisme dan Deradikalisasi, Adhe Bhakti, menambahkan ISIS sebagai kelompok teror tengah mengalami kemunduran, baik secara teritorial ataupun organisasi, saat ini.
Menurutnya, jumlah wilayah ISIS di Suriah yang semakin menipis dibandingkan tahun sebelumnya menjadi bukti bahwa kelompok teror tersebut tengah mengalami kemunduran.
Selain kehilangan wilayah kekuasaan, lanjut dia, ISIS juga mengalami kehilangan banyak pendukung.
"Bicara tentang ISIS, sebagai kelompok teror, sebenarnya justru terjadi kemunduran. Di Suriah, sebagaimana kita lihat wilayah kekuasaan kelompok ISIS saat ini jauh berkurang jika dibandingkan tahun 2015 atau 2016," ujarnya.
Namun begitu, Adhe menyatakan, hal tersebut ternyata tidak lantas memusnahkan ISIS secara keseluruhan. Menurutnya, ideologi yang disebarkan ISIS telah menjadi keyakinan atau keimanan bagi para simpatisan atau pengikutnya dan bahkan tak jarang memunculkan fanatisme.
Dia berkata, hal-hal inilah yang kemudian menjadi faktor penggerak para pengikut atau simpatisan ISIS untuk melakukan aksi atau melancarkan serangan teror.
Selain itu, dia menuturkan, pengikut dan simpatisan pun berharap bahwa ISIS akan memberikan jawaban atas masalah yang ada, seperti korupsi dan kemiskinan, serta percaya bahwa penggunaan kekerasan adalah satu-satunya jalan.
"Hal-hal itu yang kemudian saya sebut
driven factor dan
push and pull factor," kata Adhe.
Sementara itu, Adhe menyatakan, jaringan atau kelompok teror di Indonesia berjumlah banyak, mulai Jamaah Ansharut Daulah (JAD), Jamaah Ansharut Khilafah (JAK), Ansharud Daulah Indonesia (ADI), Khatibah Al Iman hingga Mujahidin Indonesia Timur (MIT) yang dulu dipimpin Santoso.
Namun, menurutnya, kelompok atau jaringan terfragmentasi dan tidak berkonsolidasi dengan baik.
Kapolri Jenderal Pol Tito Karnavian memberi keterangan pada wartawan usai meninjau Rutan Mako Brimob Kelapa Dua pasca kerusuhan di Depok, Jawa Barat. (ANTARA FOTO/Indrianto Eko Suwarso). |
Ketidaksolidan Internal PolriTerpisah, peniliti dari Institute for Security and Strategic Studies (ISeSS), Bambang Rukminto mengaku mencium anyir dari insiden kerusuhan dan penyanderaan yang terjadi di Rutan Mako Brimob, dalam hal ini ketidaksolidan di internal Polri.
Menurutnya, ketidaksolidan itu dapat dilihat dari insiden kerusuhan dan penyanderaan di Rutan Mako Brimob yang memiiki kemiripan dengan teror bom bunuh diri di kawasan Kampung Melayu, Jakarta Timur pada 24 Mei 2017 silam, yakni terjadi mendekati bulan Ramadan dan kala Tito tengah melakukan kunjungan kerja ke luar negeri.
Insiden kerusuhan dan penyanderaan di Rutan Mako Brimob terjadi saat Tito tengah melangsungkan kunjungan kerja ke Amman, Yordania. Sedangkan insiden bom bunuh diri Kampung Melayu terjadi saat mantan Kapolda Metro Jaya itu mengunjungi Teheran, Iran.
"Saya melihatnya dari dua kasus jelang Ramadan ini adalah internal polri tidak solid," kata dia.
Dia menerangkan, ketidaksolidan ini secara tidak langsung membuat harapan Presiden Joko Widodo dengan menunjuk Tito sebagai Kapolri demi mengimplementasikan program revolusi mental, bisa dikatakan gagal.
Menurutnya, Tito belum mampu mengonsolidasikan kekuatan reformis di tubuh Polri yang berakibat pada disfungsi kinerja intelijen.
"Akibatnya, antisipasi dari fungsi intelejen Polri untuk preventif, bolong," tutur Bambang Rukminto.
Lebih jauh, ia mengatakan, insiden terorisme yang terjadi pekan ini memberikan tamparan keras bagi Tito.
Menurutnya, alasan mantan Kepala Densus 88 Anti-Teror itu membiarkan ratusan narapidana kasus terorisme menghuni rutan yang diketahui memiliki desain tidak layak dari segi kapasitas tidak dapat diterima. Tito, ucap dia, seharusnya mampu menganilisa keamanan di Rutan Mako Brimob.
"Terlepas bahwa insiden tetaplah insiden, itu tamparan bagi sang guru besar anti-terorisme. Merujuk paparan yang disampaikan, desain rumah tahanan Mako Brimob tidak layak untuk kapasitas dan peruntukannya. Kenapa hal itu tidak diantisipasi?" ucapnya.
Di sisi lain, dia melanjutkan, BNPT sebagai salah satu penanggung jawab masalah penanggulangan terorisme juga telah gagal memetakan potensi kerawanan di dalam rumah tahanan Mako Brimob.
Bambang berkata, potensi teror tidak hanya muncul di tengah masyarakat, tetapi juga di dalam wilayah yang sudah dikelolanya.
Berangkat dari itu, Bambang menagih keseriusan Polri dalam menuntaskan insiden kerusuhan dan penyanderaan yang terjadi di rumah Mako Brimob. Menurutnya, Polri harus menunjuk pihak yang bertanggung jawab atas terjadinya insiden yang berujung gugurnya lima anggota Polri tersebut.
"Sampai sekarang belum ada pernyataan serius dari siapa yang bertanggung jawab dengan gugurnya lima anak-anak terbaik bangsa itu. Harusnya mereka punya rasa malu," tuturnya.
(osc)