Jakarta, CNN Indonesia -- Aksi teror berturut-turut terjadi di berbagai daerah sejak sepekan terakhir. Korban berjatuhan. Baik pelaku teror, aparat keamanan, serta warga sipil. Aksi teror dengan intensitas tertinggi terjadi di Surabaya, Jawa Timur. Setelah tiga gereja diteror bom bunuh diri pada Minggu (13/5) pagi, giliran Mapolrestabes Surabaya yang diserang pada Senin (14/5).
Teror berbuah status Siaga I pengamanan polisi di seluruh Indonesia. Presiden RI Joko Widodo (Jokowi) memerintahkan agar terorisme diberangus hingga ke akar-akarnya. Densus 88 Antiteror Polri lantas giat menyergap para terduga teroris di beberapa wilayah.
Penyerangan di Mapolda Riau, kemarin (16/5), mengindikasikan reaksi para teroris atas tindakan polisi terhadap kelompok mereka. Upaya Jokowi memberantas teroris sampai ke akar-akarnya diiringi kemunculan aksi-reaksi dari aparat dan para terduga teroris.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Pengamat terorisme Harits Abu Ulya menyatakan kelompok jaringan teroris yang masih kuat di Indonesia saat ini adalah Jamaah Ansharut Daulah (JAD). Sementara kelompok Jamaah Ansharut Tauhid (JAT) sudah lama dibubarkan Abu Bakar Baasyir, yang kini menjadi napi teroris dan dikurung di Lapas Gunung Sindur.
Peneliti dari The Community of Ideological Islamic Analyst itu mengatakan JAD punya cabang seperti Mujahidin Indonesia Timur (MIT), Mujahidin Indonesia Barat (MIB), Tauhid Wal Jihad (TWJ), Negara Islam Indonesia (NII), termasuk JAT.
"Serta beberapa kelompok kecil-kecil lainnya semisal kelompok Abu Hamzah," ujar Harits saat dihubungi
CNNIndonesia.com, Rabu (16/5).
Tidak sulit bagi suatu kelompok bergabung ke dalam JAD meski mulanya memiliki perbedaan prinsip. Menurut Harits, kelompok jaringan teroris cenderung dinamis karena keputusan untuk meninggalkan prinsip lama bergantung pada masing-masing individu atau tidak selalu atas kesepakatan bersama.
JAD adalah kelompok yang diduga melancarkan teror bom di Surabaya, sementara NII disinyalir sebagai penyerang Mapolda Riau. Mereka dinilai sebagai sel-sel tidur yang bangkit pascakerusuhan napi terorisme di Rutan Mako Brimob pada Selasa (8/5) malam.
Harits meminta aparat meningkatkan kewaspadaan ada sel-sel tidur kelompok teroris lain yang berisiko bangkit melakukan aksi teror. Mereka, kata Harits, juga merupakan anggota dan simpatisan JAD.
"Jumlahnya ratusan," kata Harits.
Mereka dikatakan sel tidur lantaran sulit melancarkan aksi akibat tekanan aparat. Menurut Harits, ruang gerak mereka semakin hari semakin sempit untuk berkoordinasi sebelum melancarkan aksi teror.
Kata Harits, JAD kini sudah sulit melakukan rekrutmen anggota atau simpatisan baru. Selain faktor tekanan dari aparat, semangat dari sel tidur untuk bangkit tidak selalu konsisten.
 Polisi sigap menanggulangi aksi serangan sekelompok terduga teroris yang disebut terkait kelompok Negara Islam Indonesia (NII) ke Mapolda Riau, Pekanbaru, 16 Mei 2018. (AFP PHOTO / WAHYUDI) |
Prasangka Ego Sektoral IntelijenKeberadaaan sel-sel tidur itu tak bisa diabaikan dan harus diperhatikan oleh aparat termasuk lewat kinerja intelijen. Bagaimanapun, kata Harits, sel-sel tidur itu menganut paham ekstrem dan berbahaya jika dimanifestasikan menjadi aksi teror.
Ia mencontohkan aksi teror bom di Surabaya. Menurut Harits, itu terjadi karena institusi aparat yang memiliki intelijen, seperti Badan Intelijen Negara (BIN) dan Polri, tidak kompak dalam menjalankan tugasnya.
"Peristiwa serangan bom di Surabaya menjadi bukti adanya ketidakkompakkan antar mereka. Ego sektoral terkadang menjadi sebab kurang kompaknya antar mereka," ujar Harits.
Harits menilai ego sektoral telah menciptakan sikap yang tidak kompak antara institusi yang memiliki intelijen. Kondisi tersebut, katanya, sangat merugikan masyarakat karena dapat berakibat buruk bagi keamanan dan ketertiban. Masyarakat disebutnya bisa menjadi tidak tenang lantaran aksi teroris tidak dapat dibendung.
Kemudian terkait upaya merealisasikan instruksi Presiden Jokowi soal pemberangusan terorisme hingga akaranya, Harits mengatakan pemerintah perlu memperkuat koordinasi antar institusi intelijen.
Tidak boleh lagi ada ego sektoral yang mengakibatkan lengahnya pemantauan terhadap gerak-gerik teroris.
Kepala Pusat Studi Keamanan Nasional dan Global Universitas Padjadjaran, Yusa Djuyandi menyatakan Polri dan BIN harus dapat melakukan langkah antisipasi teror jika telah mendeteksi pelaku terduga meskipun RUU Antiterorisme belum disahkan.
"Mereka dapat melakukan upaya pencegahan lain," ujar Yusa, Rabu (16/5) seperti dikutip dari
Antara.
Yusa mengatakan aparat dapat menggalakkan sistem peringatan dini terhadap objek yang akan disasar, serta mengawasi gerakan para terduga pelaku. Selama ini, sambungnya, Polri dan BIN dapat mensinyalir para terduga pelaku teror, namun mereka terbatas pada kewenangan penindakan dengan dalih belum ada bukti.
Yusa menegaskan jika BIN mengatakan sebelumnya mereka juga sudah mengetahui adanya rencana teror, seharusnya badan itu juga bisa berkoordinasi dengan kepolisian dan pemerintah daerah setempat untuk melakukan upaya pencegahan dan persuasif dengan mengintensifkan komunikasi terbuka dalam rangka deradikalisasi.
"Bukankah program ini juga menjadi salah satu upaya preventif pemerintah untuk menghapuskan perilaku radikal. Jika tidak dijalankan berarti ada yang salah juga dengan pengimplementasian kebijakan ini," kata Yusa..
Dia mengatakan teror di Mapolrestabes Surabaya sebagai teror lanjutan membuat publik bertanya-tanya atas seberapa cepat, efektif dan efisien kerja polisi dan BIN dalam mengawasi dan mengantisipasi serangan teror.
"Boleh dikatakan dengan adanya tragedi teror di Surabaya ini polisi dan BIN menunjukan cara kerja mereka yang belum efisien. Kekhawatiran kita adalah bagaimana kemudian mereka siap untuk meminimalisir gangguan keamanan serupa dan bisa mengurangi adanya kegelisahan masyarakat," kata Yusa.
Sementara itu, Menteri Koordinator bidang Politik, Hukum, dan Keamanan Wiranto membantah BIN dan Polri kebobolan mengenai rangkaian teror yang terjadi di sejumlah titik Indonesia dalam sepekan terakhir.
"Ini, kan, bukan curi mencuri barang. Di seluruh dunia juga menghadapi hal serupa. Jangan saling menyalahkan," ujar Wiranto di Kompleks Istana Kepresidenan, Rabu (16/5).
Wiranto menyatakan penanganan terorisme di Indonesia merupakan tugas bersama sehingga semua pihak diimbau untuk tak menyalahkan satu pihak tertentu.
"Tidak boleh saling menyalahkan. Saling menyadari ini tugas bersama, kalau menyalahkan itu bagian teror. Tidak bisa, ya," tutur mantan Panglima ABRI (sekarang TNI) ini.
(kid/gil)