Jakarta, CNN Indonesia -- Gerakan Mahasiswa Kristen Indonesia (GMKI) meminta tokoh politik tak menyebar hoaks dan menyatakan doktrin kebencian menyusul rentetan aksi teror yang terjadi di Surabaya dan Mapolda Riau.
Ia khawatir pesan yang disampaikan justru menimbulkan kebencian di masyarakat.
"Kami minta oknum-oknum pemerintah, tokoh agama, tokoh pendidikan, tokoh politik, berhenti mengeluarkan hoaks yang membuat masyarakat percaya dengan yang disampaikan," ujar Ketua GMKI, Marin Phillip Sinurat usai bertemu Wakil Presiden Jusuf Kalla di kantor wakil presiden, Jakarta, Kamis (17/5).
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Marin juga menyarankan agar semua lembaga negara memastikan tidak ada anggotanya yang menganut paham radikal.
"Negara juga harus bisa menjamin karena masyarakat harus diprioritaskan, jangan sampai kembali menjadi korban bom," katanya.
Dalam pertemuan dengan JK, Marin mengaku mendapat penjelasan bahwa rentetan aksi teror itu tak hanya dipicu persoalan internal yang terjadi di Indonesia. Ia mengatakan, ada faktor eksternal yang memengaruhi terjadinya peristiwa bom di sejumlah tempat di Surabaya dan penyerangan di Mapolda Riau.
"Ada negara-negara gagal yang kemudian orang Indonesia ke sana seperti Afghanistan, Suriah, dan lainnya. Begitu sampai sana mereka melihat peristiwa bom dan ketika kembali ke Indonesia mereka marah dan membalas ini," katanya.
Menurutnya, pemerintah telah berupaya menyelesaikan masalah tersebut. Bahkan beberapa waktu lalu Presiden Joko Widodo termasuk JK telah berkunjung ke Afghanistan untuk membahas permasalahan yang terjadi.
Di sisi lain, Marin menilai aksi teror itu terjadi karena kesalahan doktrin ideologi oleh sejumlah pihak. Ia meyakini aksi teror itu tak dipicu permasalahan ekonomi mengingat salah satu keluarga pelaku di gereja Surabaya memiliki latar belakang ekonomi yang cukup baik.
"Jadi memang ada doktrin ideologi yang salah, sehingga pemerintah dan semua lembaga harus tegas jika ada anggotanya yang berpikiran radikal," tuturnya.
(rah)