Ada Kesenjangan Pemahaman Kurikulum di Kalangan Pengajar

Mesha Mediani | CNN Indonesia
Sabtu, 19 Mei 2018 09:18 WIB
Dalam pertemuan dengan pejabat Kemendikbud dan DPR, pengamat pendidikan memaparkan kesenjangan pemahaman kurikulum di kalangan pengajar di daerah.
Dalam pertemuan dengan pejabat Kemendikbud dan DPR, pengamat pendidikan memaparkan kesenjangan pemahaman kurikulum di kalangan pengajar di daerah. (Ilustrasi/Thinkstock/Monkeybusinessimages)
Jakarta, CNN Indonesia -- Pengamat pendidikan Eka Simanjuntak menyebut kebijakan pemerintah pusat terkait pendidikan belum mampu diterapkan di seluruh wilayah Indonesia, apalagi di daerah terluar seperti pedalaman Papua.

"Saya bicara bukan data driven seperti pemerintah, tetapi evidence based; melihat langsung di lapangan. Sejak kita reformasi pendidikan itu--ketika wewenang itu diberikan ke daerah--ada satu hal yang kita lupa," kata Eka dalam sebuah diskusi bersama pejabat Kemendikbud dan DPR di Jakarta, Jumat (17/5).


Pemerintah telah melakukan reformasi pendidikan nasional pada tataran konseptual dan manajerial. Melalui reformasi itu, pemerintah pusat memberi kewenangan kepada pemerintah daerah (pemda) yaitu dinas pendidikan (disdik) untuk mengelola secara penuh sekolah negeri di wilayahnya.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Eka menyebut Kemendikbud memang mampu membuat rancangan 'luar biasa' perihal konsep pengajaran, seperti kurikulum 2013. Kurikulum 2013 menggunakan pendekatan konstruktivisme, yakni siswa harus lebih aktif berpikir dan menyimpulkan pengetahuan sendiri sesuai dengan yang didapatnya. Dengan demikian, guru hanya sekadar menyampaikan konsep pengetahuannya.

Namun, Eka menilai tidak semua pemda mampu memahami dan mengimplementasikan konsep tersebut.

"Misalnya, kurikulum 2013. Sampai hari ini Disdik tidak mengerti bagaimana melaksanakannya. Kita hanya bicara kurikulum 2013 mengakomodasi 21st century skill, dan sebagainya," kata Eka.

"Fakta di daerah, anak membaca saja nggak bisa," lanjut Ketua Institute of Good Governance and Regional Development (IGGR) tersebut.

Persoalan paling besar, kata Eka, masih banyak sekolah pemerintah di Papua yang tidak berfungsi. Meski bangunan sekolah berdiri dan Disdik setempat menerima bantuan operasional sekolah (BOS), tetapi kegiatan pembelajarannya justru tidak ada.


Berdasarkan pengalaman Eka saat memantau sekolah di Kabupaten Jayapura, Papua, ada kepala sekolah yang enam bulan tidak hadir dan absennya guru-guru selama sebulan. Sebaliknya, sekolah-sekolah yang dibangun NGO terus berupaya untuk aktif mengadakan kegiatan belajar mengajar.

"Justru yang banyak bekerja adalah civil society, tetapi mereka tidak didukung oleh pemerintah," ujar Eka.

Eka menilai upaya pemerintah masih minim dalam membantu organisasi non-pemerintah (NGO) dalam membantu perkembangan sekolah yang dibangunnya.

"Persoalannya ruwet ketika undang-undang bilang perlu ada partisipasi masyarakat, tetapi uangnya urus sendiri karena uang pemerintah hanya untuk pemerintah," kata Eka. (kid)
LAINNYA DI DETIKNETWORK
LIVE REPORT
TERPOPULER