Jakarta, CNN Indonesia -- Upaya pemberantasan
terorisme dinilai lebih baik memprioritaskan sisi pencegahan serangan teror ketimbang menekan ideologi terorisme. Sebab, ideologi sangat mudah didapat lewat saluran informasi. Otak serangan teror pun diminta terus dikejar.
"Saya usulkan bahwa pertama kali dilakukan itu bukan dari sisi ideologi. Hadapi wahabisme yang bahkan Arab pun belum bisa (kalahkan) dengan cara yang berbeda," kata Koordinator Eksekutif Indonesia Intelligence Institute Ridlwan Habib, di Jakarta, Selasa (22/5).
Ia menjelaskan bahwa perlawanan terhadap paham radikal para teroris yang membaiat ke ISIS akan sulit dilakukan dalam waktu singkat. Terlebih, bahan-bahan bacaan ideologi itu saat ini justru mudah diakses oleh masyarakat, terutama melalui internet.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Ia mencontohkan buku-buku karangan pendiri Jamaah Ansharut Daulah (JAD) Aman Abdurrahman yang mudah dicari dan dunia maya untuk dibaca.
"Coba googling 'kajian Aman Abdurahman', ada, bisa dipelajari di individu masing-masing pakai gadget," kata Ridlwan.
Lantaran itu, dirinya mendorong Pemerintah lebih mengutamakan penanganan gejalanya lebih dulu, yakni serangan teror.
"Serangannya dulu di-nol-kan, jangan sampai orang-orang ini bisa serang," ujar Ridlwan.
 Aksi damai menyuarakan penentangan terhadap aksi terorisme, di Taman Suropati, Jakarta, Senin (14/5). ( CNN Indonesia/Andry Novelino) |
Sementara, Kepala Divisi Humas Polri Irjen Setyo Wasisto mengatakan pemberantasan terorisme harus melibatkan seluruh pihak. Ia percaya bahwa pencegahan teror bisa dilakukan bahkan dari satuan terkecil di masyarakat, yakni Rukun Tetangga (RT).
"Sebagai contoh salah satunya yang sudah tidak kita lakukan adalah kewajiban wajib lapor di tingkat RT. Itu sekarang sudah banyak tidak kita lakukan sehingga ini menyulitkan bagi petugas untuk melakukan deteksi dini," tuturnya.
Menurut Setyo, bentuk teror tak boleh dilihat sebatas aksi pengeboman. Ragam teror lain bisa berupa aksi menabrakkan kendaraan ke kerumunan massa atau penusukan aparat menggunakan senjata tajam.
Terkait hal ini, Direktur Jenderal Strategi Pertahanan Kementerian Pertahanan Brigjen TNI Muhammad Nakir mengatakan fokus penanganan terorisme ke depan harus mulai beralih mencari "otak" dibalik maraknya serangan.
Sebab kata dia, jika penanganan hanya dilakukan terhadap orang-orang di lapangan, maka ancaman teror tak akan sirna.
Tak hanya itu, Nasir juga berharap agar revisi UU Pemberantasan Terorisme nantinya bisa menyediakan dasar hukum untuk pemberantasan dan pencegahan terorisme.
"Sebenarnya kami menghendaki dalam UU nanti bagaimana ia tidak hanya sebagai tindakan saja, tapi ada pencegahan sehingga betul-betul kami ingin melawan, berperang dengan teroris itu sampai ke akar-akarnya," tandasnya.
(arh/sur)