Jakarta, CNN Indonesia -- Direktur Imparsial Al Araf menyebut pencantuman 'motif politik' dalam definisi terorisme dalam
UU Antiterorisme yang baru disahkan DPR dapat menjadi pedang bermata dua.
Satu sisi, katanya, hal ini bisa menyulitkan penegak hukum dalam memproses kasus terorisme karena aparat harus membuktikan keberadaan motif tersebut.
"Motif politik dalam definisi bisa multiinterpretatif dan akan menyulitkan penegak hukum sendiri dalam membuktikan kejahatan teroris di dalam proses hukum dan pengadilan," ujar Al Araf, dalam pesan singkatnya, Jumat (25/5).
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Di sisi lain, lanjut dia, keberadaan motif politik dalam definisi terorisme tersebut bisa saja menyasar ke kelompok prodemokrasi.
"Penegak hukum harusnya nanti jangan berpijak pada definisi dalam menangani terorisme, tetapi berpijak pada unsur tindak pidananya yang diatur dalam pasal 6, pasal 7, dan pasal 8 antiterorisme," ia menyarankan.
Terlepas dari itu, Al Araf memberi catatan positif atas UU tersebut yakni soal penghapusan 'pasal Guantanamo', pencabutan status kewarganegaraan yang tidak menjadi bentuk hukuman. Selain itu ada perlindungan hak korban, perpanjangan penangkapan harus atas izin jaksa, hingga penyadapan harus melalui izin pengadilan.
"Perubahan-perubahan dalam RUU antiterorisme dari draf awal hingga draf disahkan hari ini memang ada beberapa kemajuan positif," ucapnya.
Rapat paripurna DPR telah mengesahkan UU Antiterorisme pada Jumat (25/5) pagi. Sebelum pimpinan mengetuk palu, Ketua Pansus RUU Antiterorisme Muhammad Syafii melaporkan sejumlah perubahan dalam UU baru, termasuk soal definisi.
"Terorisme adalah perbuatan yang menggunakan kekerasan atau ancaman kekerasan yang menimbulkan suasana teror atau rasa takut secara meluas, yang dapat menimbulkan korban yang bersifat massal dan/atau menimbulkan kerusakan atau kehancuran terhadap objek-objek vital yang strategis, lingkungan hidup, fasilitas publik atau fasilitas internasional dengan motif politik, ideologi, atau gangguan keamanan," kata Syafii saat membacakan laporan.
Setelah Syafii selesai membacakan laporan hasil kerja Pansus RUU Antiterorisme, Wakil Ketua DPR Agus Hermanto yang memimpin rapat paripurna meminta persetujuan kepada anggota dewan.
(arh/sur)