Jakarta, CNN Indonesia --
Aman Abdurrahman mengaku bertemu Head of the International Centre for Political Violence and Terrorism Research Singapura, Rohan Gunaratna pada Desember 2017 lalu.
Itu terucap dalam pleidoi atau nota pembelaan yang dibacakan sang terdakwa kasus serangan teror bom Thamrin saat menjalani sidang di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, Jumat (25/5). Namun pengacara Aman, Asludin Hatjani mengaku tak tahu menahu soal pertemuan itu.
"Saya baru dengarnya tadi juga dipersidangan. Saya sebelumnya belum tau," kata Asludin saat dihubungi
CNNIndonesia.com Jumat (25/5) malam.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Padahal menurut Asludin, seminggu terakhir tim pengacara berkomunikasi dengan Aman guna membahas pleidoi yang akan disampaikan dalam sidang. Namun tidak sekali pun Aman bercerita soal pertemuannya dengan Rohan, apalagi inti dan hasil dari pertemuan itu.
Dalam pleidoinya Aman mengaku, ia diajak Rohan berkompromi dengan pemerintah jika ingin bebas. Tepatnya, ada tiga pertanyaan bersifat tawaran yang diajukan Rohan kepada Aman.
Pertama, bagaimana jika pemerintah mengajak Aman berkompromi. Jika mau, Aman akan langsung dibebaskan dari jerat hukum. Sebaliknya, bila tidak mau ia akan dipenjara seumur hidup.
Kedua, Rohan bertanya kepada Aman apakah mau jika diajak bertamasya ke museum Indonesia. Ketiga, Rohan juga bertanya apakah Aman mau jika diajak makan malam di luar penjara.
Aman menolak seluruh tawaran yang disampaikan Rohan.
Ia memilih tidak berkompromi karena baginya lebih baik tetap memegang teguh keyakinannya, meskipun harus keluar dari penjara dalam kondisi tak lagi bernyawa.
Meski baru tahu semua itu, Asludin menilai tujuan Aman mengungkapkannya dalam pleidoinya adalah ingin memperlihatkan bahwa pemerintah berupaya menekan pihak-pihak seperti dirinya.
"Aman sendiri menyatakan keyakinannya walaupun keluar sebagai mayat. Berarti Aman mau memperlihatkan selama ini ada yang berusaha menekan dan ini karena kekuasaan," katanya.
Diakui RohanSecara terpisah, apa yang diucapkan Aman dalam pleidoinya diakui Rohan. Profesor berkebangsaan Sri Lanka itu mengatakan, ia memang datang ke Indonesia dalam rangka melakukan penelitian sekaligus diundang oleh Pemerintah Indonesia. Ia pun bertemu Aman.
"[Kedatangan saya] untuk memberikan masukan dan bantuan terhadap Indonesia dalam memerangi terorisme dan ekstremisme," ucap Rohan saat dihubungi
CNNIndonesia.com, Jumat (25/5).
Rohan mengatakan bahwa saat itu ia menyarankan Aman agar meninggalkan ideologi ekstremis dan ketertarikannya dengan teroris di Timur Tengah. Ia meminta Aman dapat bekerja sama dengan pemerintahan pimpinan Presiden Joko Widodo. Dengan begitu ia bisa kembali kepada keluarga dan hidup harmonis dengan seluruh komunitas dan masyarakat di Indonesia.
Namun, kata Rohan, semua ajakannya dimentahkan Aman. Terdakwa kasus teror itu bersikukuh dengan ideologi dan menolak berkompromi. Kalau pun dibebaskan, kata Rohan, Aman tidak masalah jika tak tinggal bersama keluarganya. Ia bahkan memilih berjihad di Suriah.
Upaya Kriminalisasi Aman Abdurrahman saat membacakan pleidoi dalam sidang di PN Jaksel, Jumat (25/5). (CNN Indonesia/Safir Makki) |
Aman menganggap kasus teror bom yang disangkakan kepadanya merupakan upaya penjeratan hukum dengan tujuan membungkam dakwah tauhid dan meneror mental para dai di dalamnya.
"Bila ada dai tauhid yang vokal dan diikuti banyak orang maka dengan mudah pihak penguasa menangkapnya dan menjeratnya dengan cara semacam itu kecuali bila mau berkompromi dengan pihak thagut penguasa dengan syarat-syarat yang ditetapkan," kata Aman dalam pleidoinya.
Aman mengakui bahwa dirinya menganggap pemerintah dan aparat sebagai kamu kafir.
Namun tidak pernah sekali pun ia mengimbau pengikutnya melakukan penyerangan. Tuduhan bahwa dirinya terlibat dalam serangkaian kasus bom di Indonesia dianggap keliru.
"Walau saya mengkafirkan aparat negara ini dan pemerintah, tapi sampai detik ini saya melakukan kajian belum pernah menyebarluaskan seruan kepada saudara kami untuk menyerang aparat, karena bertentangan dengan dalil [Alquran] dan hadis," kata Aman.
Sebelumnya, Jaksa Penuntut Umum menuntut Aman Abdurrahman dengan hukuman mati. Aman dianggap bertanggung jawab dalam aksi teror alias amaliah yang menewaskan sejumlah orang, serta dalang serangan lainnya di Indonesia dalam rentang waktu sembilan tahun terakhir.
Aman dianggap melanggar Pasal 14 juncto Pasal 6, subsider Pasal 15 juncto Pasal 7 UU Nomor 15/2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme, dan Pasal 14 juncto Pasal 7 subsider Pasal 15 juncto pasal 7 UU Nomor 15/2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme.
(rsa)